Budaya adu jangkrik di Cina (qiuxing atau dou cuzhi) memiliki sejarah yang panjang. Budaya tersebut dapat dibagi menjadi tiga era. Dari jaman sebelum dinasti Tang (500 SM - 618 Masehi), orang-orang hanya mengadu kerik jangkrik. Selama dinasti Tang (618-906 Masehi), orang-orang kemudian mengurung jangkrik dalam kandang dan menikmati kerik mereka saat di penangkaran. Selanjurnya, di bawah dinasti Song (960 - 1278 Masehi), adu jangkrik berkembang menjadi pertandingan yang populer.
Menurut insects.org adu jangkrik menjadi permainan populer untuk semua orang, dari orang dewasa hingga anak-anak. Terkait dengan hal ini, China pernah memproduksi menteri jangkrik yang terkenal, Jia Shi-Dao (1213-1275). Ia yang menyumbangkan buku tentang jangkrik "Cu Zhi Jin" dituduh telah melalaikan tugasnya karena obsesi dan gairahnya akan adu jangkrik. Bahkan, China juga pernah memiliki kaisar jangkrik, Ming Xuan-Zhong (1427-1464). Ketika kaisar menyukai adu jangkrik, jangkrik mendapatkan penghargaan utama di istana. Setiap tahun, ribuan jangkrik terpilih dikirim ke ibukota di mana nasib keuangan banyak orang ditempatkan di rahang serangga ini. Saking gilanya terhadap adu jangkrik, diceritakan seorang petugas lumbung beras rela menukar kuda terbaiknya dengan jangkrik yang menurutnya kuat.
Adu jangkrik pun menjadi suatu kegiatan untuk pamer kekayaan dan gengsi. Pertaruhan dalam adu jangkrik juga membuat ketimpangan di mana ada yang menjadi kaya, tetapi banyak yang justru menghancurkan masa depan keluarga mereka. Perkelahian dan masalah sosial lainnya pun tumbuh akibat adu jangkrik. Oleh karena itu, pada masa dinasti Qing, pemerintah secara resmi melarang adu jangkrik. Namun, selama periode tertentu dari dinasti Qing, adu jangkrik dijadikan olahraga nasional setiap musim gugur dan diselenggarakan oleh kementerian tekstil.
Meskipun menimbulkan efek jelek, adu jangkrik di China tetap bertahan sampai Revolusi Kebudayaan, bahkan sampai hari ini. Adu jangkrik tersebar luas, terutama di kota-kota besar seperti Shanghai, Beijing, Tianjin, Guangzhou dan Hong Kong. Dengan adanya migrasi China ke bagian dunia lain, adu jangkrik pun dapat ditemukan di New York dan Philadelphia.
Selain China, Indonesia juga telah lama mengenal adu jangkrik. Menurut Denys Lombard, sebagaimana dikutip historia.id adu jangkrik tampaknya merupakan kegemaran khas masyarakat Jawa dan kalangan orang China. Bahkan, tak beda jauh dengan zaman kekaisaran di China, pada zaman Hamengku Buwono VII (1877-1921) adu jangkrik telah merasuki seluruh keraton Yogyakarta. Para bangsawan dan pedagang kaya di Kota Gede mengadakan pertandingan setiap Selasa dan Jumat.
Agar menang, sebelum masuk arena, jangkrik biasanya dimantrai: "Jantur, jantur, musuhmu gedhe dhuwur, cokoten ngasi anjur." Bahkan juga diberi obat-obatan China. Peristiwa itu terjadi pada pertandingan besar di Semarang pada 1901.
Seperti halnya di China, adu jangkrik di Indonesia pun menjadi ajang judi (toto). Hal ini ramai dilakukan di Jawa Tengah. Pusat-pusat aduan jangkrik yang taruhannya gede di antaranya di Magelang, Yogyakarta dan Solo. Sedangkan, cara taruhannya ada yang satu lawan satu, satu lawan dua (apit), dua lawan tiga (tellon) dan sebagainya.
Menurut insects.org adu jangkrik menjadi permainan populer untuk semua orang, dari orang dewasa hingga anak-anak. Terkait dengan hal ini, China pernah memproduksi menteri jangkrik yang terkenal, Jia Shi-Dao (1213-1275). Ia yang menyumbangkan buku tentang jangkrik "Cu Zhi Jin" dituduh telah melalaikan tugasnya karena obsesi dan gairahnya akan adu jangkrik. Bahkan, China juga pernah memiliki kaisar jangkrik, Ming Xuan-Zhong (1427-1464). Ketika kaisar menyukai adu jangkrik, jangkrik mendapatkan penghargaan utama di istana. Setiap tahun, ribuan jangkrik terpilih dikirim ke ibukota di mana nasib keuangan banyak orang ditempatkan di rahang serangga ini. Saking gilanya terhadap adu jangkrik, diceritakan seorang petugas lumbung beras rela menukar kuda terbaiknya dengan jangkrik yang menurutnya kuat.
Adu jangkrik pun menjadi suatu kegiatan untuk pamer kekayaan dan gengsi. Pertaruhan dalam adu jangkrik juga membuat ketimpangan di mana ada yang menjadi kaya, tetapi banyak yang justru menghancurkan masa depan keluarga mereka. Perkelahian dan masalah sosial lainnya pun tumbuh akibat adu jangkrik. Oleh karena itu, pada masa dinasti Qing, pemerintah secara resmi melarang adu jangkrik. Namun, selama periode tertentu dari dinasti Qing, adu jangkrik dijadikan olahraga nasional setiap musim gugur dan diselenggarakan oleh kementerian tekstil.
Meskipun menimbulkan efek jelek, adu jangkrik di China tetap bertahan sampai Revolusi Kebudayaan, bahkan sampai hari ini. Adu jangkrik tersebar luas, terutama di kota-kota besar seperti Shanghai, Beijing, Tianjin, Guangzhou dan Hong Kong. Dengan adanya migrasi China ke bagian dunia lain, adu jangkrik pun dapat ditemukan di New York dan Philadelphia.
Selain China, Indonesia juga telah lama mengenal adu jangkrik. Menurut Denys Lombard, sebagaimana dikutip historia.id adu jangkrik tampaknya merupakan kegemaran khas masyarakat Jawa dan kalangan orang China. Bahkan, tak beda jauh dengan zaman kekaisaran di China, pada zaman Hamengku Buwono VII (1877-1921) adu jangkrik telah merasuki seluruh keraton Yogyakarta. Para bangsawan dan pedagang kaya di Kota Gede mengadakan pertandingan setiap Selasa dan Jumat.
Agar menang, sebelum masuk arena, jangkrik biasanya dimantrai: "Jantur, jantur, musuhmu gedhe dhuwur, cokoten ngasi anjur." Bahkan juga diberi obat-obatan China. Peristiwa itu terjadi pada pertandingan besar di Semarang pada 1901.
Seperti halnya di China, adu jangkrik di Indonesia pun menjadi ajang judi (toto). Hal ini ramai dilakukan di Jawa Tengah. Pusat-pusat aduan jangkrik yang taruhannya gede di antaranya di Magelang, Yogyakarta dan Solo. Sedangkan, cara taruhannya ada yang satu lawan satu, satu lawan dua (apit), dua lawan tiga (tellon) dan sebagainya.
No comments :
Post a Comment