Dari berbagai buku tentang Supersemar, setidaknya ada 3 kekeliruan yang dibuat oleh Soekarno. Pertama, beliau tidak perlu mengangkat caretaker Panglima AD, melainkan menegaskan dirinya sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Kedua, Mayor Jenderal Soeharto dibiarkan, meskipun sudah menunjukkan sikap membangkang. Ketiga, beliau membuat blunder dengan mengeluarkan surat perintah kepada sang smiling general untuk mengambil “semua tindakan yang dianggap perlu.” Tentu, itu sama saja memberikan bola matang kepada Soeharto.
Barangkali karena menyadari kekeliruannya dan sikap membangkap Soeharto, Bung Karno kemudian mengeluarkan Surat Peritah Tigabelas Maret (Supertasmar) sebagai koreksi terhadap penyelewengan Supersemar. Namun, sia-sia. Soeharto tetap pada jalan dan “kesanggupannya.”
Supersemar sendiri diminta oleh 3 orang jenderal setelah upaya tanggal 9 Maret 1966 yang mengagarkan Soekarno menyerahkan pemerintahan ditolak. Setelah Supersemar didapat, Soeharto pun cepat melakukan manuver yang entah disangka atau tak disangka oleh Soekarno (sebelumnya Soekarno pernah bilang kalau Soeharto jenderal koppig) dan betul-betul mengambil “semua tindakan yang dianggap perlu.” Pelengseran kekuasaan Soekarno pun tinggal seayunan kaki.
Di mana pun, pergantian kekuasaan memang menjadi sesuatu yang lumrah. Tetapi masalahnya, Soeharto sudah bertindak sedemikian jauh dan cenderung tidak wajar. Banyak kejanggalan yang dilakukannya sejak menjelang Gestok sampai terbitnya Supersemar. Tak pantas pula bagi seorang prajurit Saptamarga menjadikan sakit sebagai alasan untuk diam di saat keadaan Negara begitu gawat. Ironisnya, surat yang turut mewarnai dan menentukan sejarah Indonesia itu pun misterius. Aneh bila surat yang sangat penting itu tidak tersimpan di ANRI, kecuali fotokopinya dengan beberapa versi. Pada versi-versi yang ada juga terdapat perbedaan dan kejanggalan. Dengan berbagai kontroversinya, tak ada penjelasan yang betul-betul jelas. Masih muncul pertanyaan di manakah naskah asli Supersemar? Seperti apakah bentuk dan isinya? Bagaimana proses pemerolehannya. Semuanya masih gelap.
Kegelapan masa lalu walau bagaimanapun pada akhirnya akan membuat teka-teki di masa depan. Salah satunya dirasakan di dunia pendidikan. Seorang kawan pernah curhat bagaimana moralnya terbebani saat mengajarkan G 30 S dan Supersemar di depan anak-anak didiknya. Kedua peristiwa (materi) tersebut masih gelap sama sekali, sedangkan kurikulum menuntut output berupa kejujuran dalam diri seseorang. Bagaimana bisa menghasilkan generasi-generasi yang jujur jika pendahulu mereka hanya pandai bersumpah di mulut saja? Di sisi lain, pedoman dan petunjuk ajar sejarah bagi guru tidak beda dengan apa yang dianjurkan semasa “Orde Supersemar.” Dilema, sebab menghapus materi-materi misterius tidak mungkin dilakukan.
Melalui tulisan tak seberapa ini, sungguh saya tidak bermaksud untuk menghujat dan menghakimi para pelaku yang telah tiada. Biarlah mereka berhadapan dengan Sang Maha Adil. Biarlah Supersemar tetap jadi misteri. Tetapi, setidaknya ada pelajaran yang dapat kita petik:
Barangkali karena menyadari kekeliruannya dan sikap membangkap Soeharto, Bung Karno kemudian mengeluarkan Surat Peritah Tigabelas Maret (Supertasmar) sebagai koreksi terhadap penyelewengan Supersemar. Namun, sia-sia. Soeharto tetap pada jalan dan “kesanggupannya.”
Supersemar sendiri diminta oleh 3 orang jenderal setelah upaya tanggal 9 Maret 1966 yang mengagarkan Soekarno menyerahkan pemerintahan ditolak. Setelah Supersemar didapat, Soeharto pun cepat melakukan manuver yang entah disangka atau tak disangka oleh Soekarno (sebelumnya Soekarno pernah bilang kalau Soeharto jenderal koppig) dan betul-betul mengambil “semua tindakan yang dianggap perlu.” Pelengseran kekuasaan Soekarno pun tinggal seayunan kaki.
Di mana pun, pergantian kekuasaan memang menjadi sesuatu yang lumrah. Tetapi masalahnya, Soeharto sudah bertindak sedemikian jauh dan cenderung tidak wajar. Banyak kejanggalan yang dilakukannya sejak menjelang Gestok sampai terbitnya Supersemar. Tak pantas pula bagi seorang prajurit Saptamarga menjadikan sakit sebagai alasan untuk diam di saat keadaan Negara begitu gawat. Ironisnya, surat yang turut mewarnai dan menentukan sejarah Indonesia itu pun misterius. Aneh bila surat yang sangat penting itu tidak tersimpan di ANRI, kecuali fotokopinya dengan beberapa versi. Pada versi-versi yang ada juga terdapat perbedaan dan kejanggalan. Dengan berbagai kontroversinya, tak ada penjelasan yang betul-betul jelas. Masih muncul pertanyaan di manakah naskah asli Supersemar? Seperti apakah bentuk dan isinya? Bagaimana proses pemerolehannya. Semuanya masih gelap.
Kegelapan masa lalu walau bagaimanapun pada akhirnya akan membuat teka-teki di masa depan. Salah satunya dirasakan di dunia pendidikan. Seorang kawan pernah curhat bagaimana moralnya terbebani saat mengajarkan G 30 S dan Supersemar di depan anak-anak didiknya. Kedua peristiwa (materi) tersebut masih gelap sama sekali, sedangkan kurikulum menuntut output berupa kejujuran dalam diri seseorang. Bagaimana bisa menghasilkan generasi-generasi yang jujur jika pendahulu mereka hanya pandai bersumpah di mulut saja? Di sisi lain, pedoman dan petunjuk ajar sejarah bagi guru tidak beda dengan apa yang dianjurkan semasa “Orde Supersemar.” Dilema, sebab menghapus materi-materi misterius tidak mungkin dilakukan.
Melalui tulisan tak seberapa ini, sungguh saya tidak bermaksud untuk menghujat dan menghakimi para pelaku yang telah tiada. Biarlah mereka berhadapan dengan Sang Maha Adil. Biarlah Supersemar tetap jadi misteri. Tetapi, setidaknya ada pelajaran yang dapat kita petik:
- Kita menginginkan pergantian kekeuasaan yang fair, tanpa kepura-puraan dan proses yang membodohi rakyat
- Saatnya kita bangkit menjadi bangsa yang jantan dan jujur. Insya Allah dengan bekal keduanya, bangsa Indonesia tak akan tertunduk dan terpuruk lagi.
No comments:
Post a Comment