Terungkap bahwa selama beberapa ratus tahun dan mencapai puncaknya pada abad XVI dan XVII, banyak orang Eropa mengkonsumsi obat yang mengandung bagian dari tubuh manusia! Tak tanggung-tanggung, para bangsawan, imam dan cendekiawan juga turut menelan obat kanibal itu. Konon, obat itu mampu mengobati berbagai penyakit, mulai sakit kepala sampai epilepsi.
Pada awalnya, yang digunakan sebagai obat adalah mumi Mesir yang dihancurkan menjadi tingtur untuk menyumbat pendarahan internal. Tapi, bagian tubuh lainnya kemudian juga digunakan. Bubuk tengkorak, misalnya, merupakan salah satu bahan yang umum dipakai untuk menyembuhkan sakit kepala. Thomas Willis, pelopor ilmu otak abad ke-17, menyeduh minuman untuk ayan atau perdarahan dengan bubuk tengkorak manusia dan coklat. Begitu pula dengan Raja Charles II yang menghirup alkohol yang mengandung tengkorak manusia.
Tak hanya tengkorak, rambut palsu berupa lumut yang tumbuh di tengkorak (Usnea) pun menjadi aditif berharga. Bubuknya diyakini bisa menyembuhkan mimisan dan mungkin epilepsi. Sementara itu, lemak manusia digunakan untuk mengobati bagian luar tubuh. Dokter Jerman, misalnya, menganjurkan untuk merendam perban luka di dalam lemak manusia atau menggosokkannya pada kulit dianggap sebagai obat untuk asam urat.
Darah yang masih segar diduga mengandung vitalitas tubuh. Pada abad XVI, dokter Jerman-Swiss, Paracelsus, percaya bahwa darah baik untuk diminum dan salah satu pengikutnya, bahkan menyarankan agar mengambil darah dari tubuh yang masih hidup. Bagi mereka yang lebih suka darah masak, resep tahun 1679 dari apotek Fransiskan menjelaskan bagaimana cara membuat darah menjadi selai.Sementara orang-ortang miskin, yang tak mampu membayar senyawa olahan yang dijual di apotek, bisa mendapatkan secangkir darah hangat dari para pesakitan yang dieksekusi mati dengan membayar sejumlah kecil uang. Alagojo saat itu boleh dibilang sebagai penyembuh besar.
Mereka mengkonsumsi obat kanibal kemungkinan berkat ide homeopati bahwa “ini sepertinya menyembuhkan.” Jadi, mereka mengkonsumsi tengkorak untuk mengatasi nyeri di kepala atau minum darah untuk mengobati penyakit darah. Alasan lain, sisa-sisa manusia dianggap ampuh karena diduga mengandung roh. Roh dianggap sebagai bagian fisiologi yang sangat nyata. Dalam konteks ini, posisi darah sangat kuat dan darah segar dianggap yang paling kuat. Mereka pikir darah membawa jiwa dan begitu seterusnya sampai jiwa menguap.
Seiring kemajuan ilmu pengetahuan, praktek obat kanibal mulai berkurang pada abad XVIII ketika Eropa mulai menggunakan garpu dan sabun mandi. Tapi, kenyataan menunjukkan bahwa pada abad XIX masih ada yang menggunakan obat kanibal: pada tahun 1847, seorang Inggris disarankan untuk mencampur tengkorak seorang wanita muda dengan molase dan meminumkannya kepada putrinya yang menderita epilepsy; hingga tahun 1880an terdapat sebuah keyakinan bahwa lilin ajaib yang terbuat dari lemak manusia bisa melumpuhkan seseorang; pada awal abad XX mummi dijual sebagai obat dalam katalog medis Jerman.
Pada awalnya, yang digunakan sebagai obat adalah mumi Mesir yang dihancurkan menjadi tingtur untuk menyumbat pendarahan internal. Tapi, bagian tubuh lainnya kemudian juga digunakan. Bubuk tengkorak, misalnya, merupakan salah satu bahan yang umum dipakai untuk menyembuhkan sakit kepala. Thomas Willis, pelopor ilmu otak abad ke-17, menyeduh minuman untuk ayan atau perdarahan dengan bubuk tengkorak manusia dan coklat. Begitu pula dengan Raja Charles II yang menghirup alkohol yang mengandung tengkorak manusia.
Tak hanya tengkorak, rambut palsu berupa lumut yang tumbuh di tengkorak (Usnea) pun menjadi aditif berharga. Bubuknya diyakini bisa menyembuhkan mimisan dan mungkin epilepsi. Sementara itu, lemak manusia digunakan untuk mengobati bagian luar tubuh. Dokter Jerman, misalnya, menganjurkan untuk merendam perban luka di dalam lemak manusia atau menggosokkannya pada kulit dianggap sebagai obat untuk asam urat.
Darah yang masih segar diduga mengandung vitalitas tubuh. Pada abad XVI, dokter Jerman-Swiss, Paracelsus, percaya bahwa darah baik untuk diminum dan salah satu pengikutnya, bahkan menyarankan agar mengambil darah dari tubuh yang masih hidup. Bagi mereka yang lebih suka darah masak, resep tahun 1679 dari apotek Fransiskan menjelaskan bagaimana cara membuat darah menjadi selai.Sementara orang-ortang miskin, yang tak mampu membayar senyawa olahan yang dijual di apotek, bisa mendapatkan secangkir darah hangat dari para pesakitan yang dieksekusi mati dengan membayar sejumlah kecil uang. Alagojo saat itu boleh dibilang sebagai penyembuh besar.
Mereka mengkonsumsi obat kanibal kemungkinan berkat ide homeopati bahwa “ini sepertinya menyembuhkan.” Jadi, mereka mengkonsumsi tengkorak untuk mengatasi nyeri di kepala atau minum darah untuk mengobati penyakit darah. Alasan lain, sisa-sisa manusia dianggap ampuh karena diduga mengandung roh. Roh dianggap sebagai bagian fisiologi yang sangat nyata. Dalam konteks ini, posisi darah sangat kuat dan darah segar dianggap yang paling kuat. Mereka pikir darah membawa jiwa dan begitu seterusnya sampai jiwa menguap.
Seiring kemajuan ilmu pengetahuan, praktek obat kanibal mulai berkurang pada abad XVIII ketika Eropa mulai menggunakan garpu dan sabun mandi. Tapi, kenyataan menunjukkan bahwa pada abad XIX masih ada yang menggunakan obat kanibal: pada tahun 1847, seorang Inggris disarankan untuk mencampur tengkorak seorang wanita muda dengan molase dan meminumkannya kepada putrinya yang menderita epilepsy; hingga tahun 1880an terdapat sebuah keyakinan bahwa lilin ajaib yang terbuat dari lemak manusia bisa melumpuhkan seseorang; pada awal abad XX mummi dijual sebagai obat dalam katalog medis Jerman.
No comments :
Post a Comment