Selain menyebut hal-hal yang terkait dengan raja dan pemerintahan, ternyata sejumlah prasasti ataupun relief candi juga memuat bukti-bukti keberadaan kesenian zaman klasik. Dari prasasti-prasasti tersebut, dapat disimpulkan bahwa seni pertunjukan telah dikenal sejak abad IX M atau bisa jadi lebih dari itu dan kesenian-kesenian itu pun ada yang masih eksis hingga saat ini.
Pertunjukan seni yang diselenggarakan di pasar dapat dilihat pada beberapa prasasti. Prasasti pertama, Prasasti Poh Pitu (827 Saka), menyebutkan adanya tiga orang gadis bernama si Karigna, si Dharini dan si Rumpuk yang mempertontonkan tarian dari desa ke desa bersama dua pengiringnya, si Jaway dan si Baryyut. Para pemain pertunjukan keliling itu disebut menmen.
Eksistensi para seniman juga ditegaskan dalam Prasasti Mantyasih (828 S), Prasasti Alasantan (861 S), Prasasti Cane tahun (943 S), Prasasti Patakan (± abad XI M) dan Prasasti Turun Hyang (958 S). Dalam prasasti-prasasti tersebut para seniman mendapatkan upah dan wajib bayar pajak. Upahnya antara lain berupa bebed (kain), perak, dan kupang (?)
Menurut Wacana Nusantara, berdasarkan data prasasti pula, di Jawa pada abad ke-8 hingga abad pertengahan dikenal dua jenis tarian: manigel (tarian yang tidak pemakai topeng) dan manapal, mangrakat atau matapukan (tarian yang memakai topeng). Kedua jenis tarian ini kadang-kadang ditarikan bersama-sama, tergantung isi ceritanya. Diduga, jenis tarian berdasarkan ceritanya juga dibagi dua pula, yakni wayang wwang (wayang uwong atau wayang orang) yang mengisahkan kisah-kisah Ramayana dan Mahabharata dan raket (gambuh) untuk menyebut tarian yang mengambil cerita lain. Karena prasasti selalu menyebutkan tuha/juru ning manapal dan tuha/juru ning mangrakat, yang berarti pemimpin penari topeng, di bawah kalimat tuhan ni kanayakan, Casparis menyimpulkan bahwa pemimpin rombongan tari itu mengabdi kepada salah seorang rakai atau rakryan (pejabat pembantu raja).
Selain prasasti, kitab Sumanasantaka karya Mpu Monaguna juga memuat informasi mengenai seni pertunjukan. Di dalamnya memuat istilah mabanyol/abanyol dan mamirus/pirus yang mengacu kepada lawakan atau profesi pelawak. Di sini terdapat perbedaan antara abanyol dan pirus. Abanyol mengekspresikan kelucuan melalui gerakan-gerakan tubuh yang lucu, sementara pirus melalui pemakaian kata-kata lucu dari para pemainnya. Gerak-gerik lucu pelaku seni juga terdapat pada salah satu panel relief Candi Borobudur yang menggambarkan seorang penari yang menikmati tariannya sendiri dengan gerak-gerik yang lucu, dikelilingi oleh dua pemusik alat tiup dan tiga orang penonton.
Masih pada relief Candi Borobudur akan kita jumpai seni pertunjukan berupa akrobat. Relief tersebut memperlihatkan seseorang meletakkan sebuah benda panjang dan tipis, seperti papan di atas dagunya, sementara sekelompok penonton mengelilinginya dengan duduk atau berdiri di bawah pohon, bahkan tampak salah seorang mengangkat anaknya agar bisa menyaksikan pertunjukan dengan jelas. Persis seperti yang terjadi saat ini, terutama dalam pertunjukan-pertunjukan massal.
Mereka, para pelaku seni zaman klasik, ternyata telah professional. Setiap kali tampil, mereka akan dihargai dengan bayaran. Seniman-seniwati pada masa Mataram Kuno, misalnya, mengadakan pertunjukan keliling dan memperoleh uang dari para penontonnya. Sebagai konsekwensinya, mereka dikenakan wajib pajak. Ini dapat disimpulkan dari data prasasti yang membedakan seniman-seniwati yang membayar pajak dan yang dibayar oleh hasil pajak. Para seniman-seniwati yang disebutkan dalam daftar mangilala drabya haji, seperti tukang kenong, tukang gendang, karena bekerja di istana raja, dibayar oleh raja atau dibayar dari hasil pajak.
Seniman-seniwati istana pada waktu-waktu tertentu juga mempertunjukkan kebolehan mereka di desa-desa atas perintah kerajaan guna menegakkan wibawa raja sanjungan mereka dengan menyebarkan cerita-cerita lisan tentang keagungan raja sebagai tujuan politis (meskipun berimbas pada kehidupan ekonomi mereka). Di lain pihak, para seniman-seniwati jalanan mengadakan pertunjukan keliling di tempat-tempat umum karena murni dilatari alasan ekonomi, semata-mata untuk mencari nafkah dan menghidupi keluarga.
Eksistensi para seniman juga ditegaskan dalam Prasasti Mantyasih (828 S), Prasasti Alasantan (861 S), Prasasti Cane tahun (943 S), Prasasti Patakan (± abad XI M) dan Prasasti Turun Hyang (958 S). Dalam prasasti-prasasti tersebut para seniman mendapatkan upah dan wajib bayar pajak. Upahnya antara lain berupa bebed (kain), perak, dan kupang (?)
Menurut Wacana Nusantara, berdasarkan data prasasti pula, di Jawa pada abad ke-8 hingga abad pertengahan dikenal dua jenis tarian: manigel (tarian yang tidak pemakai topeng) dan manapal, mangrakat atau matapukan (tarian yang memakai topeng). Kedua jenis tarian ini kadang-kadang ditarikan bersama-sama, tergantung isi ceritanya. Diduga, jenis tarian berdasarkan ceritanya juga dibagi dua pula, yakni wayang wwang (wayang uwong atau wayang orang) yang mengisahkan kisah-kisah Ramayana dan Mahabharata dan raket (gambuh) untuk menyebut tarian yang mengambil cerita lain. Karena prasasti selalu menyebutkan tuha/juru ning manapal dan tuha/juru ning mangrakat, yang berarti pemimpin penari topeng, di bawah kalimat tuhan ni kanayakan, Casparis menyimpulkan bahwa pemimpin rombongan tari itu mengabdi kepada salah seorang rakai atau rakryan (pejabat pembantu raja).
Selain prasasti, kitab Sumanasantaka karya Mpu Monaguna juga memuat informasi mengenai seni pertunjukan. Di dalamnya memuat istilah mabanyol/abanyol dan mamirus/pirus yang mengacu kepada lawakan atau profesi pelawak. Di sini terdapat perbedaan antara abanyol dan pirus. Abanyol mengekspresikan kelucuan melalui gerakan-gerakan tubuh yang lucu, sementara pirus melalui pemakaian kata-kata lucu dari para pemainnya. Gerak-gerik lucu pelaku seni juga terdapat pada salah satu panel relief Candi Borobudur yang menggambarkan seorang penari yang menikmati tariannya sendiri dengan gerak-gerik yang lucu, dikelilingi oleh dua pemusik alat tiup dan tiga orang penonton.
Masih pada relief Candi Borobudur akan kita jumpai seni pertunjukan berupa akrobat. Relief tersebut memperlihatkan seseorang meletakkan sebuah benda panjang dan tipis, seperti papan di atas dagunya, sementara sekelompok penonton mengelilinginya dengan duduk atau berdiri di bawah pohon, bahkan tampak salah seorang mengangkat anaknya agar bisa menyaksikan pertunjukan dengan jelas. Persis seperti yang terjadi saat ini, terutama dalam pertunjukan-pertunjukan massal.
Mereka, para pelaku seni zaman klasik, ternyata telah professional. Setiap kali tampil, mereka akan dihargai dengan bayaran. Seniman-seniwati pada masa Mataram Kuno, misalnya, mengadakan pertunjukan keliling dan memperoleh uang dari para penontonnya. Sebagai konsekwensinya, mereka dikenakan wajib pajak. Ini dapat disimpulkan dari data prasasti yang membedakan seniman-seniwati yang membayar pajak dan yang dibayar oleh hasil pajak. Para seniman-seniwati yang disebutkan dalam daftar mangilala drabya haji, seperti tukang kenong, tukang gendang, karena bekerja di istana raja, dibayar oleh raja atau dibayar dari hasil pajak.
Seniman-seniwati istana pada waktu-waktu tertentu juga mempertunjukkan kebolehan mereka di desa-desa atas perintah kerajaan guna menegakkan wibawa raja sanjungan mereka dengan menyebarkan cerita-cerita lisan tentang keagungan raja sebagai tujuan politis (meskipun berimbas pada kehidupan ekonomi mereka). Di lain pihak, para seniman-seniwati jalanan mengadakan pertunjukan keliling di tempat-tempat umum karena murni dilatari alasan ekonomi, semata-mata untuk mencari nafkah dan menghidupi keluarga.
No comments :
Post a Comment