10.23.2012

Pandangan Jawa Kuno Terhadap Leluhur

Bagi orang Jawa, istilah leluhur merujuk pada arwah atau roh keluarga yang telah meninggal. Secara harfiah, leluhur berarti sesuatu atau person yang diluhurkan atau dianggap memiliki tinggi. Oleh karena itu, roh keluarga yang telah meninggal mempunyai kedudukan dan arti tertentu dalam masyarakat.
Secara hierarkis, orang Jawa mengenal leluhur sampai tujuh atau sembilan turunan, yakni bapak, mbah, mbah buyut, mbah canggah, mbah wareng, mbah udeg-udeg, mbah gantung siwur. Apabila mengenal sembilan turunan, maka ditambah istilah-istilah debog bosok dan galih asem. Hal demikian sudah terlihat sejak masa Jawa Kuno. Pada Prasasti Simatiga kita tertulis:
… punika ta sthiti bhukti sakeng tu hatuha, bapa, kaki, buyut, pitung, anggas, muning, krepek, tan hanang, suwanda …
Dari kutipan di atas, beberapa istilah penamaan urutan leluhur masih dipakai hingga saat ini.
Dalam rangka memperingati leluhurnya, masyarakat Jawa Kuno juga menyelenggarakan upacara-upacara yang berkenaan dengan kematian. Prasasti Diyu memberitakan upacara yang dilakukan oleh Sri Girindrawarddhana untuk leluhurnya yang meninggal di Indrabhawana. Upacara itu dilakukan duabelas tahun setelah seseorang meninggal sehingga disebut dwadaca warsa craddha atau biasa disebut craddha saja:
… irika diwasajnya paduka cri maharaja cri wilwatikta daha janggala kadiri, prabhu natha cri girindrawarddhana nama dyah ranawijaya, bhatara (i kling) (ku) monang lampahikang dwadaca warsa craddha sampurnna …
Upacara semacam itu juga pernah dilakukan oleh Hayam Wuruk untuk memperingati Rajapatni atau Gayatri. Dalam Negarakertagama (67:1) dikatakan:
yawat (manka lkas narendra magawe craddhaniwo san paratra tawat tan/ pakawandya kandanin sukhe cri rajapatnin kinaryya
Upacara tersebut menandakan bahwa anggapan masih adanya hubungan antara yang hidup dan yang mati. Hubungan dengan roh leluhur dapat hanya bersifat pemujaan atau penghormatan saja atau roh leluhur itu dimintai pertolongannya.
Mengenai kapan dimulainya pemujaan terhadap roh leluhur tersebut sulit ditentukan. Tetapi, sejak sebelum masa sejarah, orang-orang praaksara mendirikan menhir, punden berundak, meja batu, dolmen, tidak lain untuk memuja roh leluhur. Di samping itu, mereka juga percaya bahwa suatu benda atau binatang mempunyai kekuatan tertentu. Oleh karena itu, kemungkinan pemujaan terhadap roh leluhur berbarengan dengan pemujaan terhadap kekuatan atau mana yang ada pada benda ataupun binatang dan tetumbuhan.
Pemujaan terhadap benda, tetumbuhan dan binatang tersebut berlanjut hingga zaman sejarah. Nama-nama binatang, seperti hayam, lembu, mahisa, kebo ataupun nama-nama tumbuhan, seperti tal, wongateleng, capaka dipakai untuk nama orang atau tokoh penting dalam sejarah. Nama-nama Hayam Wuruk, Lembu Tal, Mahisa Capaka, Kebo Anabrang, Mahisa Wongateleng tidak hanya dipakai untuk menghormati binatang atau tumbuhan semata, tetapi juga mengambil mana yang ada pada binatang atau tumbuhan yang dipakai pada nama mereka.
Masyarakat Jawa Kuno beranggapan jika raja adalah titisan dewa. Di sini terjadi penyatuan, yaitu pandangan terhadap roh leluhur dan pandangan terhadap dewa. Proses penyatuan ini terjadi dengan jalan penitisan dewa terhadap seorang raja. Dengan demikian, jika raja meninggal, maka ada anggapan bahwa roh raja tersebut bersama dewa penitisnya akan pergi ke kayangan sang dewa penitisnya. Oleh karena itu, bila keluarga almarhum raja tersebut mengadakan upacara untuknya, sebenarnya juga memuja dewa (dewa penitisnya) atau bisa pula sebaliknya.
Meskipun tidak setaraf, roh leluhur memang disejajarkan dengan dewa. Hal ini tampak pada roh-roh leluhur yang dimintai pertolongan untuk menjaga suatu ketetapan perdikan, seperti yang ditunjukkan pada Prasasti Mantyasih:
… // i sampun ning madadah mangdiri sang makudur lumekas manapate, mamantingakan hantrini, mana wurakan hawu, manetek hayam …// ling nira manapate // indah kamung hyang purwa …… … pakacapatha kamu rahyang ta rumuhun rim dang ri poh pitu rakai mataram sang ratu sanjaya, cri maharaja rakai panangkarang ……
Meminta pertolongan pada roh-roh leluhur juga dapat kita lihat pada Prasasti Paradah, salah satu prasasti peninggalan Pu Sindok:
… indah ta kita kamung hyang ri haricandana agasti maharsi …… … kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i mdang i bhumi mataram ing watu galuh kita umilu manarira umasuk ing sarwwasarira
Lantas apa peranan dan manfaat penghormatan (pemujaan) terhadap roh leluhur? Di sini dapat dilihat dari beberapa bidang:
Bidang Sosial
Sistem pemerintahan Jawa Kuno adalah kerajaan yang menyebabkan munculnya sistem kasta. Oleh karena itu, orang selalu mengaitkan dirinya dengan leluhurnya, apalagi leluhurnya termasuk golongan bangsawan. Status leluhur, terutama berdasarkan alur dara, sangat penting bagi keturunannya. Misalnya, dalam pergantian kedudukan, penentuan luas tanah lungguh ataupun penyematan kata sandang untuk nama. Kata sandang untuk kerabat raja adalah pu dan dyah, seperti dyah Lokapala, pu Kumbhayoni.
tlas mankanoparata sang prabhu jatiningrat rajya karatwan = asilih tananan inangso dyah lokapala ranujamata lokapala (Prasasti Siwagraha)
tatkala raka walaing pu kumbhayoni puyut sang ratu i halu pakwiannira i jangluran …… (Prasasti Wukiran)
Sedangkan kata sandang untuk rakyat jelata adalah si atau kadang-kadang sang:
…// anung winaih kris tunggal soang sipa, ndawa si jamwi, si gorotong, si klonteng, si muni, si kawula, si bahu, si monek …… (Prasasti Haliwangbang)
Begitu pula dengan prasasti-prasasti lain, seperti Prasasti Timabanan Wungkal, Prasasti Taji Gunung, Prasasti Mantyasih ataupun Prasasti Pucangan, yang selain bertujuan politis juga untuk mengeaskan status berdasarkan alur darah.
Bidang Politik
Penyebutan leluhur digunakan untuk memperkuat adanya alur darah di dalam silsilah. Beberapa prasasti membuktikannya. Prasasti Kutai, misalnya, menyebutkan bahwa Aswawarman anak dari Mulawarman dan cucu dari Kudungga. Begitu pula dengan Prasasti Kalkuta, Prasasti Siwagraha, Prasasti Mulamalurung dan Prasasti Mantyasih. Jadi, penyebutan leluhur tesebut dimaksudkan untuk memperkuat kdudukan dan kekuasaan.
Bidang Hukum
Peranan leluhur sangat penting dalam bidang hukum, teruta dalam perkara kewarganegaraan. Dalam Prasasti Wurukidul diceritakan bahwa sang Dhanadi (penduduk desa Wurukidul) dikira anak kilalan (orang asing) dari daerah Manghuri oleh Pamgat Manghuri, pu Wakayana. Sang Dhanadi tidak merasa sebagai anak kilalan. Oleh karena itu, ia mengadu kepada Tuhan i Padang di Pakaranan setelah sebelumnya menghadap Pamgat i Padang. Kemudian, dipanggillah keluarga Dhanadi untuk diperiksa dan dicarikan juga saksi untuk memperkuat pengakuan Dhanadi. Dalam persidangan semua saksi yang berasal dari desa Grih, Kahuripan dan Paninglaran tanpa ragu berani disumpah bahwa leluhur Dhanadi di masa lampau adalah penduduk asli, bukan anak kilalan:
… sambandha sang dhanadi inujaran samget manghuri mangaran wukajana si nangguh wka kilalan I manghuri, kunangan pabyawaharadatang ta ya i sang tuhan i padang ing pakaranan makabehan tlas rumuhun ri sang pamget. kinonakan swawarga sang dhanadi kabeh petan siginsigin yan hana lawa lawaan wka kilalan ri manghuri …… …… tinanan ya de sang pamget mwang sang tu han. tan meweh sahurnya ka baih wnanga manarima kasopana. an tan hana la walyowamatra an tan wka kilalan I manghuri sang dhanadi kakinya kwinya puyutnya nguni ring asitkala ……
Bidang Budaya
Selama periode Jawa Timur, hubungan antara bangunan dengan roh leluhur (tokoh, raja) sudah jelas. Contohnya, hubungan suatu bangunan dengan roh seorang raja dapat dikemukakan sebagai berikut:
panjenenganira cri ranggawuni ratu tahun … moktanira 1194, dhinarma sira ring jajagu. sira mahisa capaka mokta dhinarma ring kumeper, pamalesatinira ring wudikuncir (Pararaton IV)
bhra matahun mokta dhinarma ring tigawangi, dharmmabhiseka ring kusumapura (Pararaton IX)
… akweh sira wwang mahawisesa pjah, karuhun an samngkana diwasa cri maharaja dewata pjah lumah ri sang hyang dharma parhyangan i wwatan …… mwang an kapadasthaning pitu maharaja haji dewata sang lumah ring isanabrajra …… (Prasasti Kalkuta)
irikanang kala cri maharaja dyah waba anak kryan landheyan sang luma ring alas …… (Prasasti Wulakan)
Bila data sitiran dari sumber di atas dikumpulkan, maka akan didapat tiga istilah: mokta, lumah dan dhinarma. Mokta berarti meninggal, lumah dapat diartikan sebagai tempat pemakaman sementara (saat pembakaran tulang) dan dhinarma berhubungan dengan upacara craddha. Jadi, ada kemungkinan di tempat lumah ada bangunan yang digunakan sebagai pemakaman sementara, sedangkan di tempat dharmma, meskipun ada bangunannya tidak perlu ada jasad si mati sebab dharmma lebih condong pada pemujaan atau penghormatan terhadap roh leluhur.
Yang dimaksud di sini adalah penghormatan terhadap leluhur, pemujaan terhadap dewa mengakibatkan munculnya bermacam bangunan atau benda budaya. Oleh karenanya, akan muncul pula kreasi-kreasi dari para seniman.

No comments :

Post a Comment