Siapapun pasti akan mengaitkan dengan panggilan peribadatan (shalat) jika ditanya soal bedug. Konon, bedug mulai dikenal di Nusantara setelah kehadiran ekspedisi Cheng Ho pada abad ke-15. Laksamana muslim Kaisar Ming itu menginginkan suara bedug di masjid-masjid, seperti halnya penggunaan alat serupa di kuil-kuil Budha di Cina.
Namun, menurut studi M. Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang bersama tim Sampoerna Hijau, bedug terkait dengan masa prasejarah Indonesia di mana nenek moyang kita sudah mengenal nekara dan moko, sejenis genderang dari perunggu yang dipakai dalam minta hujan. Kata Bedug juga sudah disinggung dalam Kidung Malat, sebuah karya sastra dari abad ke 14-16 Masehi. Dalam Kidung Malat dijelaskan bahwa bedug dibedakan antara bedug besar (teg-teg) dengan bedug ukuran biasa. Bedug pada masa itu berfungsi sebagai alat komunikasi dan penanda adanya perang, bencana alam atau hal mendesak lainnya. Dibunyikan pula untuk menandai tibanya waktu. Maka ada istilah Jawa yang mengatakan, “Wis wanci keteg.” (sudah waktu siang). Kata ”keteg” diambil dari saat teg-teg dibunyikan.
Sementara Cornelis De Houtman dalam catatan perjalanannya “D’eerste Boek” menjadi saksi atas keberadaan bedug yang sudah meluas pada abad ke-16. Ketika tiba di Banten, ia menggambarkan bahwa di setiap perempatan jalan terdapat genderang yang digantung dan dibunyikan memakai tongkat pemukul yang ditempatkan di sebelahnya. Fungsinya sebagai tanda bahaya dan penanda waktu. Kesaksian ini jelas merujuk pada bedug.
Kendati demikian, pengaruh Cina tidak lantas dikesampingkan. Ditilik dari sisi konstruksi, teknik pemasangan tali dan pasak untuk merekatkan selaput getar ke resonator pada bedug Jawa mirip dengan cara yang digunakan pada bedug di Asia Timur, seperti Jepang, Cina atau Korea. Bukti lain terlihat pada penampilan arca terakota yang ditemukan di situs Trowulan. Arca-arca prajurit berwajah Mongoloid itu tampak menabuh tabang-tabang, sejenis genderang yang terpengaruh budaya Timur Tengah. Kemungkinan itulah instrumen musik yang dimainkan orang-orang Cina Muslim di ibukota Majapahit. Menariknya, tabang-tabang sebenarnya merupakan instrumen musik yang sudah ada sejak masa Hindu-Budha. Di dalamnya ada pengaruh budaya India dan Semit Islam. Namun, diperkenalkan dan dimainkan oleh masyarakat Cina Muslim.
Kesimpulannya, bedug bisa dikatakan contoh perwujudan akulturasi budaya waditra (instrumen musik membrafon di mana secara fisiografis terjadi perpaduan antara waditra membrafon etnik Nusantara dengan wadistra sejenis dari luar, seperti India, Cina, dan Timur Tengah.
Muktamar NU ke-11 tahun 1936 di Banjarmasin kembali mengukuhkan penggunaan bedug dan kentongan di mana pemakaian kedua alat tersebut di masjid-masjid sangat diperlukan untuk memperbesar syiar Islam. Dengan adanya keputusan itu serangan Islam modernis bisa dieliminir dan tradisi pemakaian bedug terus dipertahankan.
Pada masa orde baru ketika organisasi NU mulai ditekan sementara Islam modernis mulai mendapat tempat, maka ”debedugisasi” dilakukan, sehingga banyak bedug-bedug bersejarah yang hilang dan sebagian besar digudangkan. Kemudian dikembangkan program speakerisasi, sehingga hampir tiap masjid yang sudah dihilangkan bedugnya diganti dengan memasang speaker di menara atau di kubahnya. Hanya di lingkungan masjid NU dan kelompok Islam bermazhab seperti Perti, Al Washliyah, Mathlaul Anwar ataupun mesjid yang belum diambil oleh kelompok Islam modernis tetap memakai bedug. Hal itu menjadi penanda masjid yang dikelola oleh Islam bermazhab dengan Islam modernis yang tidak bermazhab.
referensi
Namun, menurut studi M. Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang bersama tim Sampoerna Hijau, bedug terkait dengan masa prasejarah Indonesia di mana nenek moyang kita sudah mengenal nekara dan moko, sejenis genderang dari perunggu yang dipakai dalam minta hujan. Kata Bedug juga sudah disinggung dalam Kidung Malat, sebuah karya sastra dari abad ke 14-16 Masehi. Dalam Kidung Malat dijelaskan bahwa bedug dibedakan antara bedug besar (teg-teg) dengan bedug ukuran biasa. Bedug pada masa itu berfungsi sebagai alat komunikasi dan penanda adanya perang, bencana alam atau hal mendesak lainnya. Dibunyikan pula untuk menandai tibanya waktu. Maka ada istilah Jawa yang mengatakan, “Wis wanci keteg.” (sudah waktu siang). Kata ”keteg” diambil dari saat teg-teg dibunyikan.
Sementara Cornelis De Houtman dalam catatan perjalanannya “D’eerste Boek” menjadi saksi atas keberadaan bedug yang sudah meluas pada abad ke-16. Ketika tiba di Banten, ia menggambarkan bahwa di setiap perempatan jalan terdapat genderang yang digantung dan dibunyikan memakai tongkat pemukul yang ditempatkan di sebelahnya. Fungsinya sebagai tanda bahaya dan penanda waktu. Kesaksian ini jelas merujuk pada bedug.
Kendati demikian, pengaruh Cina tidak lantas dikesampingkan. Ditilik dari sisi konstruksi, teknik pemasangan tali dan pasak untuk merekatkan selaput getar ke resonator pada bedug Jawa mirip dengan cara yang digunakan pada bedug di Asia Timur, seperti Jepang, Cina atau Korea. Bukti lain terlihat pada penampilan arca terakota yang ditemukan di situs Trowulan. Arca-arca prajurit berwajah Mongoloid itu tampak menabuh tabang-tabang, sejenis genderang yang terpengaruh budaya Timur Tengah. Kemungkinan itulah instrumen musik yang dimainkan orang-orang Cina Muslim di ibukota Majapahit. Menariknya, tabang-tabang sebenarnya merupakan instrumen musik yang sudah ada sejak masa Hindu-Budha. Di dalamnya ada pengaruh budaya India dan Semit Islam. Namun, diperkenalkan dan dimainkan oleh masyarakat Cina Muslim.
Kesimpulannya, bedug bisa dikatakan contoh perwujudan akulturasi budaya waditra (instrumen musik membrafon di mana secara fisiografis terjadi perpaduan antara waditra membrafon etnik Nusantara dengan wadistra sejenis dari luar, seperti India, Cina, dan Timur Tengah.
Muktamar NU ke-11 tahun 1936 di Banjarmasin kembali mengukuhkan penggunaan bedug dan kentongan di mana pemakaian kedua alat tersebut di masjid-masjid sangat diperlukan untuk memperbesar syiar Islam. Dengan adanya keputusan itu serangan Islam modernis bisa dieliminir dan tradisi pemakaian bedug terus dipertahankan.
Pada masa orde baru ketika organisasi NU mulai ditekan sementara Islam modernis mulai mendapat tempat, maka ”debedugisasi” dilakukan, sehingga banyak bedug-bedug bersejarah yang hilang dan sebagian besar digudangkan. Kemudian dikembangkan program speakerisasi, sehingga hampir tiap masjid yang sudah dihilangkan bedugnya diganti dengan memasang speaker di menara atau di kubahnya. Hanya di lingkungan masjid NU dan kelompok Islam bermazhab seperti Perti, Al Washliyah, Mathlaul Anwar ataupun mesjid yang belum diambil oleh kelompok Islam modernis tetap memakai bedug. Hal itu menjadi penanda masjid yang dikelola oleh Islam bermazhab dengan Islam modernis yang tidak bermazhab.
referensi
No comments :
Post a Comment