Kita patut berbangga pada Indonesia. Siapa pun tahu jika sejak berabad-abad lampau, negeri tercinta ini telah dikenal oleh masyarakat dunia. Berbagai kitab dan catatan perjalanan telah banyak yang mengisahkan rupa ragam pulau yang ada di Indonesia. Meski memberikan sebutan yang berbeda-beda, tak jarang kita memakai salah satu nama atau sebutan yang ada dalam kitab dan catatan perjalanan itu untuk menyebut pulau-pulau itu. Bahkan, nama yang berasal dari lidah-lidah asing itu kita pakai sampai saat ini. Pulau Sumatera, misalnya.
Sebagaimana tercatat dalam sumber-sumber sejarah dan cerita-cerita rakyat, apa yang sekarang kita sebut Sumatera awalnya bernama “Pulau Emas”. Istilah tersebut dapat dijumpai dalam cerita Cindur Mata dari Minangkabau dan cerita rakyat Lampung yang mencantumkan nama tanoh mas untuk menyebut pulau mereka yang besar itu. Pendeta I-tsing (634-713) dari Cina, yang bertahun-tahun menetap di Sriwijaya (Palembang sekarang) pada abad ke-7, menyebut pulau Sumatera dengan nama chin-chou yang berarti “negeri emas”. Begitu pula dengan berbagai prasasti yang menyebut Sumatera dengan nama Sansekerta: Suwarnadwipa (Pulau Emas) atau Suwarnabhumi (Tanah Emas). Nama-nama tersebut sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi. Kitab Jataka, menceritakan pelaut-pelaut India menyeberangi Teluk Benggala ke Suwarnabhumi. Dalam cerita Ramayana juga dikisahkan pencarian Dewi sampai ke Suwarnadwipa.
Para musafir Arab menyebut pulau Sumatera dengan nama Serendib (tepatnya: Suwarandib), transliterasi dari nama Suwarnadwipa. Abu Raihan Al-Biruni, ahli geografi Persia yang mengunjungi Sriwijaya tahun 1030, mengatakan bahwa negeri Sriwijaya terletak di pulau Suwarandib. Tetapi, ada juga yang mengidentifikasi Serendib dengan Srilanka.
Di kalangan bangsa Yunani Kuno, Pulau Sumatera sudah dikenal dengan nama Taprobana. Nama Taprobana Insula dipakai oleh Klaudios Ptolemaios, ahli geografi Yunani abad kedua Masehi, pada tahun 165 ketika menguraikan daerah Asia Tenggara dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemaios menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri Barousai. Mungkin sekali negeri yang dimaksudkan adalah Barus di pantai barat Sumatera yang terkenal sejak zaman kuno sebagai penghasil kapur barus.
Naskah Yunani tahun 70, Periplous tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse nesos, yang artinya “Pulau Emas.” Sejak zaman kuno para pedagang dari daerah sekitar Laut Tengah sudah mendatangi tanah air kita, terutama Sumatera. Di samping mencari emas, mereka mencari kemenyan dan kapur barus yang saat itu hanya ada di Sumatera. Sebaliknya, para pedagang Nusantara menjajakan komoditi mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sebagaimana tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini pada abad pertama Masehi.
Dalam kitab umat Yahudi, Melakim (Raja-raja), pasal 9, diterangkan bahwa Nabi Sulaiman menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang menjadi bawahannya. Emas itu didapatkan dari negeri Ophir. Kitab Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman. berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-Na fiha). Di manakah gerangan letak negeri Ophir yang diberkati Allah itu? Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatera. Perlu dicatat, kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemaios pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Banyak pula petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera dengan anggapan bahwa di sanalah letak negeri Ophir-nya Nabi Sulaiman.
Sedangkan nama “Sumatera” berasal dari nama Samudera, sebuah kerajaan di Aceh pada abad ke-13 dan ke-14. Para musafir Eropa sejak abad ke-15 menggunakan nama kerajaan itu untuk menyebut seluruh pulau. Sama halnya dengan pulau Kalimantan yang pernah disebut Borneo yang diambil dari nama Brunai, daerah bagian utara pulau itu yang mula-mula didatangi orang Eropa. Demikian pula pulau Lombok tadinya bernama Selaparang, sedangkan Lombok adalah nama daerah di pantai timur pulau Selaparang yang mula-mula disinggahi pelaut Portugis. Memang, penjelajah Eropa punya kebiasaan untuk menamai suatu tempat berdasarkan kesan pertama. Peralihan Samudera (nama kerajaan) menjadi Sumatera (nama pulau) menarik untuk ditelusuri. Odorico da Pardenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318 menyebutkan bahwa dia berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari, lalu sampai di kerajaan Sumoltra. Ibnu Bathutah bercerita dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) bahwa pada tahun 1345 dia singgah di kerajaan Samatrah. Pada abad berikutnya, nama negeri atau kerajaan di Aceh itu diambil alih oleh musafir-musafir lain untuk menyebutkan seluruh pulau.
Pada tahun 1490 Ibnu Majid membuat peta daerah sekitar Samudera Hindia dan di sana tertulis pulau Samatrah. Peta Ibnu Majid ini disalin oleh Roteiro tahun 1498 dan muncullah nama Camatarra. Peta buatan Amerigo Vespucci tahun 1501 mencantumkan nama Samatara, sedangkan peta Masser tahun 1506 memunculkan nama Samatra. Ruy d’Araujo tahun 1510 menyebut pulau itu Camatra, dan Alfonso Albuquerque tahun 1512 menuliskannya Camatora. Antonio Pigafetta tahun 1521 memakai nama yang agak ‘benar’: Somatra. Tetapi sangat banyak catatan musafir lain yang lebih ‘kacau’ menuliskannya: Samoterra, Samotra, Sumotra, bahkan Zamatra dan Zamatora.
Catatan-catatan orang Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis Drake abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatra. Bentuk inilah yang menjadi baku, dan kemudian disesuaikan dengan lidah kita: Sumatera.
Wacana Nusantara
Sebagaimana tercatat dalam sumber-sumber sejarah dan cerita-cerita rakyat, apa yang sekarang kita sebut Sumatera awalnya bernama “Pulau Emas”. Istilah tersebut dapat dijumpai dalam cerita Cindur Mata dari Minangkabau dan cerita rakyat Lampung yang mencantumkan nama tanoh mas untuk menyebut pulau mereka yang besar itu. Pendeta I-tsing (634-713) dari Cina, yang bertahun-tahun menetap di Sriwijaya (Palembang sekarang) pada abad ke-7, menyebut pulau Sumatera dengan nama chin-chou yang berarti “negeri emas”. Begitu pula dengan berbagai prasasti yang menyebut Sumatera dengan nama Sansekerta: Suwarnadwipa (Pulau Emas) atau Suwarnabhumi (Tanah Emas). Nama-nama tersebut sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi. Kitab Jataka, menceritakan pelaut-pelaut India menyeberangi Teluk Benggala ke Suwarnabhumi. Dalam cerita Ramayana juga dikisahkan pencarian Dewi sampai ke Suwarnadwipa.
Para musafir Arab menyebut pulau Sumatera dengan nama Serendib (tepatnya: Suwarandib), transliterasi dari nama Suwarnadwipa. Abu Raihan Al-Biruni, ahli geografi Persia yang mengunjungi Sriwijaya tahun 1030, mengatakan bahwa negeri Sriwijaya terletak di pulau Suwarandib. Tetapi, ada juga yang mengidentifikasi Serendib dengan Srilanka.
Di kalangan bangsa Yunani Kuno, Pulau Sumatera sudah dikenal dengan nama Taprobana. Nama Taprobana Insula dipakai oleh Klaudios Ptolemaios, ahli geografi Yunani abad kedua Masehi, pada tahun 165 ketika menguraikan daerah Asia Tenggara dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemaios menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri Barousai. Mungkin sekali negeri yang dimaksudkan adalah Barus di pantai barat Sumatera yang terkenal sejak zaman kuno sebagai penghasil kapur barus.
Naskah Yunani tahun 70, Periplous tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse nesos, yang artinya “Pulau Emas.” Sejak zaman kuno para pedagang dari daerah sekitar Laut Tengah sudah mendatangi tanah air kita, terutama Sumatera. Di samping mencari emas, mereka mencari kemenyan dan kapur barus yang saat itu hanya ada di Sumatera. Sebaliknya, para pedagang Nusantara menjajakan komoditi mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur sebagaimana tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini pada abad pertama Masehi.
Dalam kitab umat Yahudi, Melakim (Raja-raja), pasal 9, diterangkan bahwa Nabi Sulaiman menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang menjadi bawahannya. Emas itu didapatkan dari negeri Ophir. Kitab Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman. berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-Na fiha). Di manakah gerangan letak negeri Ophir yang diberkati Allah itu? Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatera. Perlu dicatat, kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemaios pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Banyak pula petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera dengan anggapan bahwa di sanalah letak negeri Ophir-nya Nabi Sulaiman.
Sedangkan nama “Sumatera” berasal dari nama Samudera, sebuah kerajaan di Aceh pada abad ke-13 dan ke-14. Para musafir Eropa sejak abad ke-15 menggunakan nama kerajaan itu untuk menyebut seluruh pulau. Sama halnya dengan pulau Kalimantan yang pernah disebut Borneo yang diambil dari nama Brunai, daerah bagian utara pulau itu yang mula-mula didatangi orang Eropa. Demikian pula pulau Lombok tadinya bernama Selaparang, sedangkan Lombok adalah nama daerah di pantai timur pulau Selaparang yang mula-mula disinggahi pelaut Portugis. Memang, penjelajah Eropa punya kebiasaan untuk menamai suatu tempat berdasarkan kesan pertama. Peralihan Samudera (nama kerajaan) menjadi Sumatera (nama pulau) menarik untuk ditelusuri. Odorico da Pardenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318 menyebutkan bahwa dia berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari, lalu sampai di kerajaan Sumoltra. Ibnu Bathutah bercerita dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) bahwa pada tahun 1345 dia singgah di kerajaan Samatrah. Pada abad berikutnya, nama negeri atau kerajaan di Aceh itu diambil alih oleh musafir-musafir lain untuk menyebutkan seluruh pulau.
Pada tahun 1490 Ibnu Majid membuat peta daerah sekitar Samudera Hindia dan di sana tertulis pulau Samatrah. Peta Ibnu Majid ini disalin oleh Roteiro tahun 1498 dan muncullah nama Camatarra. Peta buatan Amerigo Vespucci tahun 1501 mencantumkan nama Samatara, sedangkan peta Masser tahun 1506 memunculkan nama Samatra. Ruy d’Araujo tahun 1510 menyebut pulau itu Camatra, dan Alfonso Albuquerque tahun 1512 menuliskannya Camatora. Antonio Pigafetta tahun 1521 memakai nama yang agak ‘benar’: Somatra. Tetapi sangat banyak catatan musafir lain yang lebih ‘kacau’ menuliskannya: Samoterra, Samotra, Sumotra, bahkan Zamatra dan Zamatora.
Catatan-catatan orang Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis Drake abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatra. Bentuk inilah yang menjadi baku, dan kemudian disesuaikan dengan lidah kita: Sumatera.
Wacana Nusantara
Gooodd... mantaaap
ReplyDeletethaks, kawan
Delete