10.19.2012

Marhaenisme Atau Wagimanisme?

Marhaenisme adalah ideologi yang menentang penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Ideologi yang muncul dari pemikiran Soekarno ini menggambarkan kehidupan rakyat kecil, orang-orang kecil yang terdiri dari petani dan buruh yang hidupnya selalu dalam cengkraman orang orang kaya dan penguasa. Ada yang mengatakan bahwa Marhaenisme adalah Marxisme yang diterapkan di Indonesia. Mirip memang, tapi tidak seekstrim Marxisme.
Lantas, dari mana inspirasi Marhaenisme itu muncul?
Dalam Penyambung Lidah Rakyat (Cindy Adams) dikisahkan tentang pertemuan Sukarno dengan seorang petani di Bandung selatan. Sukarno menemui seorang petani yang menggarap sawahnya dan menanyakan kepemilikan dan hasil dari sawah itu. Yang Sukarno temukan adalah bahwa walaupun sawah, bajak, cangkul adalah kepunyaan sendiri dan dikerjakan sendiri, hasil yang didapat masih jauh dari kata cukup. Petani itu bernama Marhaen.
Tetapi, jauh sebelum pertemuan itu ada satu nama yang sudah menarik perhatian Sukarno. Wagiman, sebuah nama yang biasa saja. Ia tinggal tak jauh dari rumah keluarga Sukarno di Mojokerto.
Meski memiliki kehidupan yang mirip dengan Marhaen, Wagiman dipercaya menjabat Kabayan di desanya. Atas jabatannya itu ia berhak mengelola tanah bengkok yang tidak seberapa hasilnya. Dari tanah bengkok itulah ia bercocok tanam dan menghidupi keluarganya. Namun, Wagiman terbilang melarat untuk ukuran segala zaman. Atap rumahnya bolong-bolong, lantainya cukup tanah dan saat tidur beralas tikar.
Kala itu, usia Sukarno belum genap 12 tahun. Ia pun masih berstatus siswa di ELS Mojokerto. Hampir setiap hari, Sukarno menyambangi rumah Wagiman. Sambil menemani aktifitas Wagiman, Sukarno menyimak semua yang keluar dari mulut Wagiman. Sesekali, Wagiman melantunkan tembang Jawa sambil menjelaskan maknanya. Lain waktu, Wagiman juga mengisahkan babat Ramayana, babat Mahabharata, juga epos Pandawa dalam dunia pewayangan. Wagiman pun mendalang. Mata Sukarno yang berbinar-binar, menatap tajam ke arah Wagiman. Yang ditatap, tetap saja asyik mendalang dan bercerita sambil tetap melakukan apa yang sedang ia lakukan.
Dari Wagiman pula Sukarno banyak mendapatkan hakikat kerakyatan. Dari Wagiman pula Sukarno mengetahui betapa penjajahan telah memelaratkan bangsanya. Dari Wagiman pula Sukarno terlecut hati untuk memerdekakan bangsanya. Dalam bahasa Cornelis Lay (UGM – Yogyakarta), ide Marhaenisme yang dicetuskan Sukarno, sebetulnya sudah ada dalam benak Sukarno ketika bergaul intens dengan Wagiman. Dapat pula disebut bahwa Wagiman turut ambil bagian dalam membentuk karakter Sukarno, Sang Penyambung Lidah Rakyat.
referensi: Roso Daras

No comments :

Post a Comment