10.24.2012

7 Raja Cilik Yang Mengubah Sejarah

Hampir setiap kebudayaan dan peradaban memiliki bangsawan muda luar biasa yang naik ke tampuk kekuasaan. Memang ada yang hanya bertindak sebagai pemimpin boneka sampai mereka cukup usia untuk benar-benar memerintah, tetapi ada pula yang lain memimpin kerajaan, membuat undang-undang berpengaruh dan bahkan berperang untuk mengubah jalannya sejarah.
Ptolemy XIII Theos Philopator
Penguasa ke-13 dari dinasti Ptolemaic Mesir, Ptolemy XIII, mulai berkuasa pada 51 SM pada usia 11 atau 12. Namun, ia segera menemukan bahwa dirinya dibayang-bayangi oleh adiknya, Cleopatra. Karena cemburu atas peningkatan kepopuleran sang adik, pada 48 SM Ptolemy memicu perang saudara dan mengusir Cleopatra dari Mesir. Ptolemy juga bersekutu dengan pemimpin Romawi, Pompey, yang saat itu sedang berperang dengan Julius Caesar. Ketika Pompey kalah dan pergi ke Mesir untuk mencari perlindungan, Ptolemy justru membunuh sekutunya itu demi memberi kesan baik pada Caesar dan mengambil hati Romawi. Rencananya terbukti berhasil. Setelah tiba di Mesir, Caesar memaksa Ptolemy untuk berdamai dengan adiknya. Ptolemy XIII pada akhirnya menyebabkan tentara Mesir melawan Roma, namun Caesar mengalahkan pasukannya dalam sebuah pertempuran yang mengakibatkan pembakaran Perpustakaan terkenal di Alexandria. Ptolemy kemudian diyakini tenggelam di Sungai Nil saat ia mencoba untuk melarikan diri.
Fulin (Kaisar Shunzhi) 
 Kaisar ketiga dari Dinasti Qing, Fulin (kemudian dikenal sebagai Kaisar Shunzhi) yang saat itu berusia 5-tahun naik ke tampuk kekuasaan pada 1643 setelah kematian ayahnya. Karena ia masih sangat muda, untuk beberapa tahun ke depan, China diperintah di bawah perwaliann pamannya, Dorgon. Setelah kematian Dorgon pada 1650, Shunzhi yang telah berusia 12 tahun mengambil alih pemerintahan kekaisaran. Dilatarbelakangil oleh kewaspadaan terhadap musuh-musuh politiknya, ia segera memupuk aliansi dengan kasim pengadilan yang berpengaruh. Bersamaan dengan itu, ia membuat upaya untuk memerangi korupsi dan mengkonsolidasikan kerajaan di bawah pemerintahan Qing.
Kaisar Shunzhi, yang saat ini dikenang sebagai pemimpin yang sangat berpikiran terbuka, mengabdikan waktu untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan astronomi. Juga toleran terhadap berbagai agama. Sekitar 1652 ia menjadi tuan rumah penyambutan untuk Dalai Lama Kelima di Peking dan secara teratur berkonsultasi dengan seorang misionaris Jesuit Austria bernama Johann Adam Schall von Bell. Meski ia tidak pernah menjadi seorang Katolik, ia menganggap Schall salah satu penasihat terdekatnya dan bahkan menyebutnya “kakek.” Tahun 1661, pada usia 22, Shunzhi meninggal karena cacar. Ia digantikan putranya, Kaisar Kangxi, yang memerintah selama lebih dari 60 tahun.
Elagabalus 
Kaisar Romawi, Elagabalus, mengambil-alih kekuasaan pada usia 15 tahun. Berasal dari Suriah, Elagabalus menguasai Roma pada 218 setelah ibu dan neneknya memicu pemberontakan dengan menyatakan bahwa dirinya adalah anak haram Caracalla, seorang kaisar yang baru dibunuh. Segera, setelah berkuasa ia banyak memunculkan kontroversi. Bahkan, sebelum ia tiba di ibu kota, ia sudah menyatakan dewa matahari bangsa Suriah, Elagabal, sebagai dewa utama Roma. Ia juga mengejutkan publik dengan ekses seksualnya, seperti gonta ganti pasangan, prostitusi dan hubungan romantis dengan kusir keretanya. Elagabalus juga mendapat cemoohan dari kelas politik Roma karena mengizinkan ibunya untuk memasuki ruang senat yang hanya untuk laki-laki.
Dikenal sebagai kaisar korup, Elagabalus punya skandal lain ketika ia menikah dengan seorang perawan tua berkelas pendeta yang seharusnya tetap suci dan menyatakan bahwa pernikahan mereka akan menghasilkan keturunan seperti dewa. Perilaku bejat itu akhirnya diatasi oleh Garda Praetorian dan pada 222 kaisar berusia 18 tahun tersebut dibunuh dan digantikan oleh sepupunya, Alexander Severus. Elagabalus kemudian ditandai sebagai salah satu kaisar paling merosot dalam sejarah pemimpin Roma, tetapi beberapa sejarawan modern berpendapat bahwa perilaku eksentriknya kemungkinan dibesar-besarkan oleh musuh-musuh politiknya dalam upaya untuk mendiskreditkan dirinya.
Tutankhamen 
Tutankhamen adalah firaun Mesir yang diperkirakan telah memerintah selama 10 tahun pada abad ke-14 SM. Ia mewarisi tahta pada usia 9 atau 10, meski pada awalnya ia memerintah Mesir di bawah arahan penasihat karena usianya yang masih muda. Sementara pemerintahannya bukanlah waktu yang signifikan dalam sejarah Mesir, Tutankhamen melakukan beberapa perubahan lembaga sosial. Yang paling penting, ia mengembalikan reformasi tidak populer ayahnya, Akhenaten. Meninggalkan keputusan Akhenaten bahwa dewa matahari, Aten, menjadi dewa tunggal, Tutankhamen mengembalikan kedudukan dewa Amun dan Thebe dijadikan kembali sebagai ibukota Mesir.
Tutankhamen meninggal secara misterius pada sekitar usia 19. Kontribusinya yang paling penting untuk sejarah 3.200 tahun kemudian adalah ketika Egyptologist Inggris, Howard Carter, menemukan tempat peristirahatan terakhirnya di Lembah Para Raja. Dalam hal ini, makam Tutankhamen membantu membentuk pemahaman kita budaya kerajaan Mesir Kuno.
Mary, Ratu Skotlandia
Mary menjadi ratu Skotlandia setelah ayahnya meninggal hanya enam hari setelah kelahirannya pada tahun 1542. Karena masih terlalu muda untuk memerintah, posisinya sebagai raja membuat sosok ratu belia ini sangat berpengaruh dalam hubungan internasional. Didorong kecemasan atas pertalian Skotlandia dan Inggris, pada tahun 1543, Raja Henry VIII mengusulkan pernikahan masa depan antara Mary dan anaknya, Edward. Ketegangan politik di antara kedua negara membuat parlemen Skotlandia menolak pertunangan dan Mary ditampung di berbagai kastil setelah Henry VIII menginvasi Skotlandia dan mencoba untuk memaksakan pernikahan dalam apa yang dikenal sebagai "Rough Wooing."
Untuk menjaga Mary, pada 1548 ia dibawa ke Perancis. Pada usia 16 ia menikah dengan Francis II. Ia kemudian menjadi ratu Perancis setelah suaminya naik tahta. Setelah kematian Francis, pada 1561, Mary kembali ke Skotlandia untuk melanjutkan tugasnya sebagai Ratu. Ia menikah untuk kedua kalinya. Tapi pemberontakan tahun 1567 memaksanya untuk melepaskan takhta Skotlandia dan melarikan diri ke Inggris. Di sana ia dipenjara selama hampir 19 tahun sebelum dieksekusi akibat peran terselubungnya dalam sebuah plot untuk menggulingkan Ratu Elizabeth I.
Baldwin IV
Raja Baldwin IV tidak hanya menyelamatkan Jerusalem pada usia 16, tapi ia melakukannya ketika menderita penyakit. Lahir pada tahun 1161, Baldwin IV naik ke tampuk kekuasaan pada usia 15 setelah kematian ayahnya, Amalric I. Meskipun menderita kusta sejak kecil, Baldwin IV berulang kali turun ke kancah Perang Salib melawan Saladin, seorang pelatih militer terkenal Muslim yang memerintah sebagai sultan Mesir dan Suriah.
Ketika Saladin bergerak menuju kota Ascalon pada 1177, Baldwin IV bergegas ke kota itu dengan infanteri dan beberapa ratus Kstaria Templar. Terkepung dalam dinding kota oleh pasukan Saladin, Baldwin IV berhasil meloloskan pasukannya dari benteng. Setelah mengamankan kesepakatan damai dengan Saladin, remaja itu kembali ke Yerusalem sebagai pahlawan. Ia kemudian pergi untuk berperang lagi melawan pasukan Saladin setelah gencatan senjata berakhir, sering kali ditandu ketika penyakitnya membuatnya terlalu lemah untuk naik kuda. Kondisi Baldwin IV memburuk selama beberapa tahun ke depan, dan ia akhirnya meninggal pada 1185 pada usia 23. Dua tahun kemudian, Saladin memenangkan Pertempuran Hattin dan berhasil menggulingkan Kerajaan Yerusalem. (ref)
Radin Inten II
Radin Inten II lahir di Lampung pada tahun 1834. Pada usia enam belas tahun, ia dinobatkan sebagai penguasa Negara Ratu. Pada masa itu, sebagian daerah Lampung sudah dikuasai oleh Belanda. Jiwa mudanya yang merdeka tak tenang melihat penderitaan yang dialami rakyatnya akibat kekejaman pemerintah kolonial Belanda. Karena itu, Radin Inten II dengan gagah berani melakukan perjuangan mewujudkan kemerdekaan meski harus dibayar dengan nyawa.
Walaupun usianya masih muda belia, Radin Inten II merupakan sosok panglima perang dan pemikir dengan kepribadian yang kuat. Ketika ia mulai melakukan perlawanan, Belanda pun mengeluarkan bujuk rayunya agar Radin Inten II mengurungkan niatnya itu. Namun dengan tegas Radin Inten II menolak mentah-mentah upaya yang dilakukan Belanda. Semenjak itu peperangan pun berkobar. Radin Inten II pun gugur dalam usia 24 tahun setelah melawan Belanda yang menjebaknya dalam suatu pertemuan tanggal 5 Oktober 1858.

No comments :

Post a Comment