Sebagai produk kebudayaan manusia, musik adalah bahasa universal untuk mengkomunikasikan ide dan emosi. Melalui musik pula, sistem dan nilai-nilai sosial budaya suatu masyarakat tercermin. Meski bersifat tak pandang bulu, ketika seorang nomor satu bermain musik atau bernyanyi, tentu akan menjadi sesuatu yang menarik. Sebenarnya, hal ini adalah proses untuk mengkomunikasikan ide dan emosi dari seorang penguasa kepada rakyatnya, simbol kekeluargaan dan kedekatan emosional.
Terkait dengan hal ini, Hayam Wuruk juga melantunkan lagu. Tentang hal ini hal ini, Nagarakertagama pupuh ke-91 dan ke-92 memberitakannya:
[Pupuh 91]
Begitu pun dengan diri Hayam Wuruk. Sebagai seorang raja, kemampuan sastra merupakan kemampuan penting yang harus dimiliki supaya bisa membaur dalam lingkungan pergaulan istana. Kemampuan itu jelas terlihat ketika Hayam Wuruk bernyanyi, ia mendapat sorak pujian.
Lagu “Manghuri Kandamuhi”, mungkin sejenis kakawihan, yang sangat digemari oleh semua kelas. Manghuri Kandamuhi tampaknya semacam lagu wajib di mana para pejabat harus hafal dan bisa melantunkanya.
Acara nyanyi, lawakan dan lain sebagainya dilakukan Hayam Wuruk bukan hanya di Istana kerajaan, tetapi disetiap daerah yang dia kunjungi, bahkan sampai diarena perburuan pun mereka lakukan. Ini tiada lain adalah cara Hayam Wuruk untuk melakukan pendekatan terhadap masyarakat kerajaannya, dan secara tidak langsung ini merupakan publikasi kenegaran dalam menyatakan keadaan aman, tentram selamat dan sentosa. Suatu hal yang tidak mungkin kalau keadaan sebaliknya, yang ada adalah masyarakat dicekam rasa ketakutan, kemelaratan dan kebajiban berkorban bela negara.
Pun kalau diperhatikan, semua hukum dan perundangan yang dibuat pada masa itu dibuat dalam bentuk syair karena sistem pencatatan pada saat itu belum dimiliki secara kolosal, hanya bisa berupa prasasti dari batu atau lempengan tembaga yang jumlah serta kapasitasnya pun terbatas. Maka syairlah yang menjadi medianya. Juga agar mudah dihafal dan mudah disebarkan. Jadi, nyanyian sudah menjadi karakter budaya pada saat itu.
Terkait dengan hal ini, Hayam Wuruk juga melantunkan lagu. Tentang hal ini hal ini, Nagarakertagama pupuh ke-91 dan ke-92 memberitakannya:
[Pupuh 91]
- jurwiyanin / cucud saha buyut nikan amaceh maceh, prapta manrtta riɳ çwaran umambil i sadulur ika, solahulah nikamuhara guyw anukani lumihat, etunikhan wineh waçana taɳ para wadana kabeh.
- ri wkasan kinon / marka milwalariha ri harp, mantry upapatti kapwa dinulurnyan alarih aniduɳ, manhuri khandamohi paniduɳnira titir inalm, çri nrpatin widagda manulangapi rsp alanö.
- gita narendra maɳhlahlandani jner anani, mrak manawuwwan i padapa tulyanika rin alanö, lwir mmadu len / guladrawa rinok / rin amanis anener, wança maghasa tulyanika rin rs anuner i hati.
- haryya ranadikara lali yan hatur i narapati, haryya mahadikara ta dulur nika parn amuwus, an / para handyan apti miha- (133a) te siran arakherakhet, a juga linnira t-her umantuk / hadadadakan.
- çri krtawarddaneçwara mamanjaki si ra rumuhun, nkana rika witana ri tnah rinacana dinadak, çorinireki gitada lawan / tkesira rahajöɳ, sotan ulah karamyan ikanaɳ guyu juga winanun.
- ndaluwaran sireki ri dataɳ narapatin anadeg, gitaniranyat andani girahyasen in umulat, çoranireki suçrama nirukti lituhayu waged, gi ta nikanhiribhirib aweh rsepanin umulat.
- çri naranatha tan sipi wagusnira tlas arasuk, asta tkesnirekin upabharyya rahayu sawala, tusnin amatya wança wicaksana tetes in ulah, etuniran pabanwal anibaken ucapan anne.
- naɳ nawanatya kapwa tinapaknira tinewekaken, asya makadi tan pat ikaɳ guyu parn aslur, mwaɳ karunamanun tanis aweh skel apuhara luh, etu nikaɳ tumon / pada kamanusan anenanen.
- sinhitin arkka linsir irika nrpatin atlasan, nka para handyan amwit umusap / ri padatala haji, liɳ nika muktapapa sinunan sukha kadi tan i rat, tan / wuwusen / stuti- (133b) nya haji sampun umulih hi dalm.
- manka tinkahiran/ pamukti sukha riɳ pura tumkani sestiniɳ manah, tatahhan lara dahat/ ndatan malupa riɳ kaparahitan i haywaniɳ praja, anwam/ tapwana kabwatan sira tathapi sugata sakalan/ maharddika, deniɳ jñana wiçesa çudda pamademnira ri kuhakaniɳ duratmaka.
- ndatan mahuwusan kawiryyanira len/ wibhawanira dudug/ rin ambara, singih çri girinathamurtti makhajanma ri siran agawe jagaddita, byakta manguh upadrawawihan i sajñanira manasar iɳ samahita, moktan kleça keta katona nuniweh wuwusana tika saɳ sada mark.
- nahan hetuni kottaman/ nrpat kaprakaçitaɳ pinujiɳ jagattraya, sakwehniɳ jana madyamottama kanista pada mujaraken/ çwarastuti, anhiɳ sotnika mogha langen atuwuh wukira sira panöbaniɳ sarat, astwanirwa lawas/ bhatara rawicandrama sumelh i bhumimandala.
- Pembesar daerah angin membadut dengan para lurah, Diikuti lagu, sambil bertandak memilih pasangan, Solah tingkahnya menarik gelak, menggelikan pandangan, Itulah sebabnya mereka memperoleh hadiah kain.
- Disuruh menghadap Baginda, diajak minum bersama, Menteri upapati berurut minum bergilir menyanyi, Nyanyian Manghuri Kandamuhi dapat sorak pujian, Baginda berdiri, mengimbangi ikut melaras lagu.
- Tercengang dan terharu hadirin mendengar swara merdu, Semerbak meriah bagai gelak merak di dahan kayu, Seperti madu bercampur dengan gula terlalu sedap manis, Resap mengharu kalbu bagai desiran buluh perindu.
- Arya Ranadikara lupa bahwa Baginda berlagu, Bersama Arya Mahadikara mendadak berteriak, Bahwa para pembesar ingin beliau menari topeng, “Ya!” jawab beliau; segera masuk untuk persiapan.
- Sri Kertawardana tampil ke depan menari panjak, Bergegas lekas panggung disiapkan di tengah mandapa, Sang permaisuri berhias jamang laras menyanyiakan lagu, Luk suaranya mengharu rindu, tingkahnya memikat hati.
- Bubar mereka itu, ketika Sri Baginda keluar, Lagu rayuan Baginda bergetar menghanyutkan rasa, Diiringkan rayuan sang permaisuri rapi rupendah, Resap meremuk rasa merasuk tulang sungsum pendengar,
- Sri Baginda warnawan telah mengenakan tampuk topeng, Delapan pengiringnya di belakang, bagus, bergas pantas, Keturunan arya, bijak, cerdas, sopan tingkah lakunya, Itulah sebabnya banyolannya selalu tepat kena.
- Tari sembilan orang telah dimulai dengan banyolan, Gelak tawa terus-menerus, sampai perut kaku beku, Babak yang sedih meraih tangis, mengaduk haru dan rindu, Tepat mengenai sasaran, menghanyutkan hati penonton.
- Silam matahari waktu lingsir, perayaan berakhir, Para pembesar minta diri mencium duli paduka, Katanya: “Lenyap duka oleh suka, hilang dari bumi!”, Terlangkahi pujian Baginda waktu masuk istana.
- Begitulah suka mulia Baginda raja di pura, tercapai segala cita, Terang Baginda sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat dan negara, Meskipun masih muda, dengan suka rela berlaku bagai titisan Budha, dengan laku utama beliau memadamkan api kejahatan durjana.
- Terus membumbung ke angkasa kemashuran dan peperwiraan Sri Baginda, Sungguh beliau titisan Batara Girinata untuk menjaga buana, Hilang dosanya orang yang dipandang, dan musnah letanya abdi yang disapa.
- Itulah sebabnya keluhuran beliau mashur terpuji di tiga jagad, Semua orang tinggi, sedang, dan rendah menuturkan kata-kata pujian, Serta berdoa agar Baginda tetap subur bagai gunung tempat berlindung, Berusia panjang sebagai bulan dan matahari cemerlang menerangi bumi.
Begitu pun dengan diri Hayam Wuruk. Sebagai seorang raja, kemampuan sastra merupakan kemampuan penting yang harus dimiliki supaya bisa membaur dalam lingkungan pergaulan istana. Kemampuan itu jelas terlihat ketika Hayam Wuruk bernyanyi, ia mendapat sorak pujian.
Lagu “Manghuri Kandamuhi”, mungkin sejenis kakawihan, yang sangat digemari oleh semua kelas. Manghuri Kandamuhi tampaknya semacam lagu wajib di mana para pejabat harus hafal dan bisa melantunkanya.
Acara nyanyi, lawakan dan lain sebagainya dilakukan Hayam Wuruk bukan hanya di Istana kerajaan, tetapi disetiap daerah yang dia kunjungi, bahkan sampai diarena perburuan pun mereka lakukan. Ini tiada lain adalah cara Hayam Wuruk untuk melakukan pendekatan terhadap masyarakat kerajaannya, dan secara tidak langsung ini merupakan publikasi kenegaran dalam menyatakan keadaan aman, tentram selamat dan sentosa. Suatu hal yang tidak mungkin kalau keadaan sebaliknya, yang ada adalah masyarakat dicekam rasa ketakutan, kemelaratan dan kebajiban berkorban bela negara.
Pun kalau diperhatikan, semua hukum dan perundangan yang dibuat pada masa itu dibuat dalam bentuk syair karena sistem pencatatan pada saat itu belum dimiliki secara kolosal, hanya bisa berupa prasasti dari batu atau lempengan tembaga yang jumlah serta kapasitasnya pun terbatas. Maka syairlah yang menjadi medianya. Juga agar mudah dihafal dan mudah disebarkan. Jadi, nyanyian sudah menjadi karakter budaya pada saat itu.
No comments:
Post a Comment