Voodoo adalah turunan dari kepercayaan tertua yang telah ada di Afrika sejak awal peradaban manusia. Diperkirakan bahwa peradaban dan kepercayaan tersebut sudah ada selama lebih dari 10.000 tahun. Voodoo berasal dari kata "vodou." Dalam bahasa Adja-Tado Ewe/ Fon, vodou berarti roh. Asal-usul vodou bersamaan dengan pengembangan kerajaan Ketu, Tado, Notsie dan Allada (sekarang Benin, Togo dan tenggara Ghana) yang kemudian menjadi sebuah kerajaan terkuat dan prestisius di Afrika Barat.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa klan kuat terdahulu merupakan bagian dari keturunan asli kelompok multietnis yang terdiri orang-orang yang dikenal sebagai "Yoruba," pendiri Ile Ife dan Dinasti Oyo. Alaketu, salah satu dari enam belas putra Oduduwa, dianggap sebagai bapak dari garis keturunan Adja. (Ewe / Fon / Mina) Karena banyak konflik antar suku, Adja-Tado (Ewe / Fon / Mina) yang tersisa secara sporadis bergerak ke selatan menuju Ketu (Ketou) dan Notsie, sekitar tahun 1300an. Kemudian mereka pindah lebih jauh ke selatan, mendirikan kerajaan pertama mereka, Allada. Bertahun-tahun kemudian, beberapa kembali ke utara dan menempati Abomey.
Adja-Tado adalah nama yang diberikan raja desa pertama sekaligus sebagai perhormatan terhadap pendiri Abomey. Salah satu legenda kuno mengatakan bahwa putri Raja Adja-Tado, ketika berjalan melalui hutan, didekati dan “diresapi” oleh seokor macan tutul supranatural hingga kemudian melahirkan seorang putra, Agasu. Maka, dimulailah awal garis keturunan raja-raja ilahiah. Anak-anak keturunan Agasu terbagi-bagi kembali dan mulai merambah derah selatan. Mendirikan dan menggabungkan kerajaan Allada (Arada), Quidah / Whydah dan Porto Novo ke dalam apa yang akhirnya menjadi Kekaisaran Dahomey Raya dengan Abomey sebagai ibukotanya.
Dahomey diperintah oleh total sebelas raja, dimulai oleh Raja Wegbaja yang memerintah selama hampir dua abad sebelum kemudian runtuh oleh kekuasaan Eropa. Dengan keruntuhan Dahomey, datanglah realitas baru di mana budaya, bahasa dan agama Dahomey ditindas. Banyak pendeta yang dibunuh dan dipenjarakan. Kuil-kuil mereka dihancurkan. Hal ini memaksa beberapa Dahomean membentuk Orde Vodou dan menciptakan masyarakat bawah tanah dalam rangka melanjutkan pemujaan terhadap leluhur mereka dan menyembah dewa-dewa mereka.
Selanjutnya, selama era era kolonisasi Hispaniola, budak-budak Afrika yang berasal dari berbagai kelompok etnis yang didatangkan ke Haiti menghadapi kenyataan dan keadaan yang memungkin mereka untuk mengembangkan voodoo. Kolonis Eropa berpikir bahwa dengan mengucilkan kelompok-kelompok etnis, di antara mereka tidak akan terbentuk sebuah komunitas. Namun, dalam penderitaan perbudakan, mereka mulai memanggil tidak hanya dewa-dewa mereka, tetapi juga melakukan ritus lain selain yang mereka ketahui. Dalam proses ini, mereka berbaur dan memodifikasi ritual dari berbagai kelompok etnis.
Lebih dari 30 kelompok etnis Afrika yang berperan dalam mengembangkan voodoo, bahkan sebelum kedatangan mereka ke Haiti. Kelompok-kelompok etnis tersebut di antaranya Mina, Ewe, Gwa, Tchamba, Adja, Yoruba, Nago, Goun, Holli, Aizo, Kongo, Mahi, Bariba, Phila-Phila, Asante, Anlo-Ewe, Taneka, Fon, Ibos, Dindi, Peulh, Senegal, Haussars, Caplaous, Mondungues, Mandinge, Angolese, Libya, Ethiopia, Malgaches Nuseuwex/ Loko, Gorovodu, Dahomey, Mamaissii dan Atikevodou. Sementara vodou Dahomey di Afrika Barat adalah ibu dari semua bentuk sinkretis vodoun (voodoo) yang dipraktekkan di Dunia Baru.
Dalam masyarakat voodoo tidak dikenal istilah kebetulan. Praktisi voodoo percaya bahwa segala sesuatu tidak memiliki kehidupannya sendiri. Sesuatu mempengaruhi sesuatu yang lain. Selama ritual mereka berdoa, menabuh drum, menari, menyanyi dan mengorbankan hewan.
Figur ular dalam kepercayaan voodoo amatlah penting. Oleh karena itu, kata voodoo kemudian diterjemahkan sebagai “ular di bawah naungan yang mengumpulkan semua orang yang berbagi kepercayaan.” Imam besar yang sering disebut Papa atau Maman dipandang sebagai pembawa ekspresi kekuatan ular yang memberi nasihat, bimbingan rohani, membantu masalah, menawarkan bantuan seperti penyembuhan melalui penggunaan jamu dan obat-obatan atau penyembuhan melalui keyakinan, sebagaimana dikenal dalam agama-agama lain. Dewa tertinggi mereka disebut Bon Dieu dan ada ratusan roh yang disebut Loa yang mengendalikan alam, kesehatan, kekayaan dan kebahagiaan manusia. Loa tersebut membentuk jajaran dewa yang mencakup Damballah, Ezili, Ogu, Agwe, Legba dan lain-lain. Selama upacara voodoo berlangsung Loa dapat memiliki (merasuki) tubuh peserta upacara di mana peserta yang kerasukan itu akan menyampaikan saran, peringatan dan keinginan.
Musik dan tari merupakan elemen kunci dalam upacara voodoo. Upacara sering disebut oleh orang kulit putih sebagai " Night Dancing" atau "Voodoo Dancing." Menari ini bukan hanya awal dari hiruk-pikuk seksual, seperti yang sering digambarkan. Tarian adalah ekspresi spiritualitas, hubungan dengan keilahian dan dunia roh. Roh, yang menurut para praktisinya, dapat dipanggil untuk membawa keharmonisan dan kedamaian, meningkatkan kelimpahan, keberuntungan, kesehatan, kebahagiaan materi.
Tentang pandangan bahwa voodoo adalah sesuatu yang barbar, primitif dan praktek seksual tak bermoral yang berdasarkan takhayul, ini tidak terlepas dari sejarah perbudakan orang-orang Afrika oleh bangsa Eropa. Dalam perbudakan juga terkandung penghapusan terhadap bahasa, budaya, warisan dan kepercayaan sehingga voodoo juga harus dihilangkan. Ketika Perancis menjajah Haiti, muncul kesadaran bahwa agama dan kepercayaan orang Afrika adalah ancaman bagi sistem kolonial sehingga dilaranglah semua prakteknya. Para praktisi voodoo dipenjara, dicambuk dan digantung. Oleh karena itu, untuk bertahan hidup, voodoo juga mengadopsi berbagai elemen dalam agama Kristen. Perjuangan voodoo berlangsung selama tiga abad dan ternyata tidak ada hukuman yang bisa mematikannya. Proses akulturasi pun membantu Voodoo tumbuh di banyak daerah di Amerika. Voodoo bertahan di sejumlah Negara. Di Brasil, misalnya, voodoo disebut "Candombli." Orang-orang Ewe di selatan Togo dan tenggara Ghana dikenal sebagai penganut yang taat.
Dalam perkembangannya, dikenal pula istilah hoodoo. Istilah ini diperkenalkan oleh orang-orang Anglo-Afrika Amerika yang mengenal voodoo sebagai suatu praktek yang sama dengan sulap. Keajaiban voodoo yang dilakukan melalui gris-gris objek dan doa semata-mata hasil karya roh, tetapi hoodoo merupakan praktek takhayul sihir gris-gris yang diinvestasikan dalam objek, seperti boneka ,tanpa disertai pengetahuan tentang roh.
referensi:
rainbow of spirituality
mamiwata
voodoo museum
wikipedia
Catatan sejarah menunjukkan bahwa klan kuat terdahulu merupakan bagian dari keturunan asli kelompok multietnis yang terdiri orang-orang yang dikenal sebagai "Yoruba," pendiri Ile Ife dan Dinasti Oyo. Alaketu, salah satu dari enam belas putra Oduduwa, dianggap sebagai bapak dari garis keturunan Adja. (Ewe / Fon / Mina) Karena banyak konflik antar suku, Adja-Tado (Ewe / Fon / Mina) yang tersisa secara sporadis bergerak ke selatan menuju Ketu (Ketou) dan Notsie, sekitar tahun 1300an. Kemudian mereka pindah lebih jauh ke selatan, mendirikan kerajaan pertama mereka, Allada. Bertahun-tahun kemudian, beberapa kembali ke utara dan menempati Abomey.
Adja-Tado adalah nama yang diberikan raja desa pertama sekaligus sebagai perhormatan terhadap pendiri Abomey. Salah satu legenda kuno mengatakan bahwa putri Raja Adja-Tado, ketika berjalan melalui hutan, didekati dan “diresapi” oleh seokor macan tutul supranatural hingga kemudian melahirkan seorang putra, Agasu. Maka, dimulailah awal garis keturunan raja-raja ilahiah. Anak-anak keturunan Agasu terbagi-bagi kembali dan mulai merambah derah selatan. Mendirikan dan menggabungkan kerajaan Allada (Arada), Quidah / Whydah dan Porto Novo ke dalam apa yang akhirnya menjadi Kekaisaran Dahomey Raya dengan Abomey sebagai ibukotanya.
Dahomey diperintah oleh total sebelas raja, dimulai oleh Raja Wegbaja yang memerintah selama hampir dua abad sebelum kemudian runtuh oleh kekuasaan Eropa. Dengan keruntuhan Dahomey, datanglah realitas baru di mana budaya, bahasa dan agama Dahomey ditindas. Banyak pendeta yang dibunuh dan dipenjarakan. Kuil-kuil mereka dihancurkan. Hal ini memaksa beberapa Dahomean membentuk Orde Vodou dan menciptakan masyarakat bawah tanah dalam rangka melanjutkan pemujaan terhadap leluhur mereka dan menyembah dewa-dewa mereka.
Selanjutnya, selama era era kolonisasi Hispaniola, budak-budak Afrika yang berasal dari berbagai kelompok etnis yang didatangkan ke Haiti menghadapi kenyataan dan keadaan yang memungkin mereka untuk mengembangkan voodoo. Kolonis Eropa berpikir bahwa dengan mengucilkan kelompok-kelompok etnis, di antara mereka tidak akan terbentuk sebuah komunitas. Namun, dalam penderitaan perbudakan, mereka mulai memanggil tidak hanya dewa-dewa mereka, tetapi juga melakukan ritus lain selain yang mereka ketahui. Dalam proses ini, mereka berbaur dan memodifikasi ritual dari berbagai kelompok etnis.
Lebih dari 30 kelompok etnis Afrika yang berperan dalam mengembangkan voodoo, bahkan sebelum kedatangan mereka ke Haiti. Kelompok-kelompok etnis tersebut di antaranya Mina, Ewe, Gwa, Tchamba, Adja, Yoruba, Nago, Goun, Holli, Aizo, Kongo, Mahi, Bariba, Phila-Phila, Asante, Anlo-Ewe, Taneka, Fon, Ibos, Dindi, Peulh, Senegal, Haussars, Caplaous, Mondungues, Mandinge, Angolese, Libya, Ethiopia, Malgaches Nuseuwex/ Loko, Gorovodu, Dahomey, Mamaissii dan Atikevodou. Sementara vodou Dahomey di Afrika Barat adalah ibu dari semua bentuk sinkretis vodoun (voodoo) yang dipraktekkan di Dunia Baru.
Dalam masyarakat voodoo tidak dikenal istilah kebetulan. Praktisi voodoo percaya bahwa segala sesuatu tidak memiliki kehidupannya sendiri. Sesuatu mempengaruhi sesuatu yang lain. Selama ritual mereka berdoa, menabuh drum, menari, menyanyi dan mengorbankan hewan.
Figur ular dalam kepercayaan voodoo amatlah penting. Oleh karena itu, kata voodoo kemudian diterjemahkan sebagai “ular di bawah naungan yang mengumpulkan semua orang yang berbagi kepercayaan.” Imam besar yang sering disebut Papa atau Maman dipandang sebagai pembawa ekspresi kekuatan ular yang memberi nasihat, bimbingan rohani, membantu masalah, menawarkan bantuan seperti penyembuhan melalui penggunaan jamu dan obat-obatan atau penyembuhan melalui keyakinan, sebagaimana dikenal dalam agama-agama lain. Dewa tertinggi mereka disebut Bon Dieu dan ada ratusan roh yang disebut Loa yang mengendalikan alam, kesehatan, kekayaan dan kebahagiaan manusia. Loa tersebut membentuk jajaran dewa yang mencakup Damballah, Ezili, Ogu, Agwe, Legba dan lain-lain. Selama upacara voodoo berlangsung Loa dapat memiliki (merasuki) tubuh peserta upacara di mana peserta yang kerasukan itu akan menyampaikan saran, peringatan dan keinginan.
Musik dan tari merupakan elemen kunci dalam upacara voodoo. Upacara sering disebut oleh orang kulit putih sebagai " Night Dancing" atau "Voodoo Dancing." Menari ini bukan hanya awal dari hiruk-pikuk seksual, seperti yang sering digambarkan. Tarian adalah ekspresi spiritualitas, hubungan dengan keilahian dan dunia roh. Roh, yang menurut para praktisinya, dapat dipanggil untuk membawa keharmonisan dan kedamaian, meningkatkan kelimpahan, keberuntungan, kesehatan, kebahagiaan materi.
Tentang pandangan bahwa voodoo adalah sesuatu yang barbar, primitif dan praktek seksual tak bermoral yang berdasarkan takhayul, ini tidak terlepas dari sejarah perbudakan orang-orang Afrika oleh bangsa Eropa. Dalam perbudakan juga terkandung penghapusan terhadap bahasa, budaya, warisan dan kepercayaan sehingga voodoo juga harus dihilangkan. Ketika Perancis menjajah Haiti, muncul kesadaran bahwa agama dan kepercayaan orang Afrika adalah ancaman bagi sistem kolonial sehingga dilaranglah semua prakteknya. Para praktisi voodoo dipenjara, dicambuk dan digantung. Oleh karena itu, untuk bertahan hidup, voodoo juga mengadopsi berbagai elemen dalam agama Kristen. Perjuangan voodoo berlangsung selama tiga abad dan ternyata tidak ada hukuman yang bisa mematikannya. Proses akulturasi pun membantu Voodoo tumbuh di banyak daerah di Amerika. Voodoo bertahan di sejumlah Negara. Di Brasil, misalnya, voodoo disebut "Candombli." Orang-orang Ewe di selatan Togo dan tenggara Ghana dikenal sebagai penganut yang taat.
Dalam perkembangannya, dikenal pula istilah hoodoo. Istilah ini diperkenalkan oleh orang-orang Anglo-Afrika Amerika yang mengenal voodoo sebagai suatu praktek yang sama dengan sulap. Keajaiban voodoo yang dilakukan melalui gris-gris objek dan doa semata-mata hasil karya roh, tetapi hoodoo merupakan praktek takhayul sihir gris-gris yang diinvestasikan dalam objek, seperti boneka ,tanpa disertai pengetahuan tentang roh.
referensi:
rainbow of spirituality
mamiwata
voodoo museum
wikipedia
No comments:
Post a Comment