10.28.2012

Gaung Nasionalisme Dari Pulau Madura

Pasca penghapusan pemerintahan panembahan dan seiring dengan perkembangan organisasi pergerakan di Indonesia, khususnya di Jawa, orang-orang Madura juga mulai mendirikan organisasi serupa. Atau, setidaknya menjadi cabang dari organisasi yang telah mapan, seperti SI, Muhammadiyah dan Budi Utomo. Selain itu, di sana juga terdapat beberapa organisasi kecil. Di antara organisasi-organisasi tersebut yang terpenting adalah Madoerezen Bond.
Tanggal berdiri Madoerezend Bond tidak diketahui, namun sudah dikenal umum sekurang-kurangnya sejak awal Januari 1920 dan baru disahkan pada tahun 1923. Didirikan oleh dua orang Madura yang bertempat tinggal di Surabaya, Raden Mayangkusumo dan Raden Ruslan Wongsokusumo, ketua pertama organisasi ini adalah Raden Cokroprawiro yang kemudian digantikan oleh Raden Mayangkusumo pada bulan Mei 1921.
Mirip dengan Budi Utomo, Madoerezen Bond juga bergerak di bidang sosial. Usaha-usaha yang dilakukan Madoerezend Bond antara lain memajukan gerakan koperasi dan simpan-pinjam, mendirikan perpustakaan dan gedung pertemuan, memajukan pertanian, pendidikan, industri, budaya, agama, perdagangan dan mengumpulkan dana pemakaman. Pada waktu yang hampir bersamaan, Comite Madura Bekerja didirikan pada bulan Oktober 1921. Para fungsionarisnya terdiri dari Ismail (ketua), Sastrodipuro (wakil ketua), R.M. Hamza (sekretaris), Kadio (bendahara), Hosen dan P. Asmoro sebagai komisaris.
Comite Madura Bekerja sebenarnya merupakan organisasi sempalan Madoerezen Bond yang didirikan oleh orang-orang yang pesimis akan prospek masa depan organisasi induknya (Madoerezen Bond). Madoerezen Bond yang berpusat di Surabaya memang mempunyai hubungan tertutup dengan perwakilannya di Madura. Kegiatannya pun lebih banyak di kota dan kurang mengakar di daerah pedesaan.
Tahun 1929, luasnya perkembangan politik kebangsaan telah memengaruhi berbagai organisasi etnis, termasuk Madoerezen Bond. Dengan adanya kecenderungan terhadap politik nasionalis, Madoerezen Bond menghadapi dilema antara kepentingan nasional dan kepentingan etnis. Mengikuti kecenderungan tersebut, orang Madura di Surabaya mendirikan Kongres Nasional Madura yang bergerak ke arah Kongres Nasional Hindia. Kaum nasionalis Madura di Surabaya kemudian bertindak lebih jauh dengan mengangkat orang Jawa sebagai ketua organisasi baru tersebut. Dari sinilah kemudian muncul polemik tentang “Madura Kecil” dan “Madura Besar.” Dalam hal ini, Madoerezen Bond mewakili “Madura Kecil.”
Meski polemik tersebut lebih mengarah pada persoalan kepemimpinan dan ideologi, namun polemik itu tak pelak lagi telah mematahkan kesatuan gerakan orang-orang Madura. Keretakan semakin buruk karena di dalam tubuh Madorezen Bond terjadi perpecahan. Orientasi pemimpin dalam organisasi ini mulai tak sejalan. Para pemimpin yang condong pada politik dipimpin oleh Raden Ruslan Wongsokusumo. Faksi politik dalam Madoerezen Bond itu kemudian dikenal sebagai Sarekat Madura. Perpecahan pemimpin itu pun memengaruhi cabang-cabang Madoerezen Bond di Madura.
Sarekat Madura mengadakan kongres pertamanya di Bangkalan pada 12-15 Februari 1926. Kebanyakan pendirinya dicurigai pemerintah, terutama pemimpin radikal yang telah dipecat dari pemerintahan. Di antara pemimpin yang dicurigai adalah Raden Sarkawi (putra seorang wedono yang tak diakui lagi sebagai anak), Raden Panji Joyodipuro (saudara seorang bekas mayor barisan yang ditahan), Raden Yudokusumo (seorang anggota Madoerezen Bond), Risky (seorang pekerja toko yang dipecat), Raden Ruslan (seorang pegawai kantor pos yang dipecat), Tahir (seorang yang terkenal jelek [mungkin seorang bromocorah]), Haji Adenan, Raden Ayu Ija (anak perempuan wedono yang tak diakui lagi sebagai anak) dan Raden Kromomenggolo.
Tidak banyak yang hadir dalam kongres tersebut meski Sarekat Madura juga menyertakan anggota-anggotanya yang berasal dari Surabaya. Dalam empat hari pertemuan, secara berturut-turut dihadiri 22, 400, 200 dan 20 anggota. Kongres kemudian menetapkan Bangkalan sebagai pusat Sarekat Madura dan Surabaya sebagai cabang di bawah pimpinan Raden Ruslan Wongsokusumo.
Sementara itu, kecenderungan radikal Sarekat Madura semakin memperuncing ketegangan di dalam gerakan orang Madura sehingga berbagai usaha (salah satunya dilakukan oleh Raden Sosrodanukusumo) untuk mempersatukan Sarekat Madura dengan Madoerezen Bond mengalami kegagalan. Namun demikian, Madoerezen Bond tetap aktif. Misalnya, pada tahun 1929 memilih Ahmad Yudokusumo sebagai presiden Madoerezen Bond yang baru dan para fungsionaris lainnya, seperti Notosujono (sekretaris) dan Astrojoyo (bendahara).
Pada akhir dasawarsa, organisasi orang-orang Madura terang-terangan memasuki ranah politik. Kebanyakan bergabung dengan organisasi-organisasi politik nasional. Sarekat Madura berafiliasi dengan PBI Dr. Sutomo dan membantu PBI mendirikan cabang-cabangnya di Sampang dan Pamekasan. Tetapi, beberapa cabang Sarekat Madura menarik diri dari PBI karena PBI tidak tegas dalam masalah kooperasi dan nonkooperasi dengan pemerintah. Beberapa kelompok revolusioner di bawah pimpinan Raden Ruslan Wongsokusumo kemudian membentuk kelompok sendiri, Persatuan Rakyat Madura. Persatuan Rakyat Madura lalu bergabung dengan PNI di mana Raden Ruslan Wongsokusumo menjadi komisaris partai. Masa berikutnya, Persatuan Rakyat Madura bergabung dengan PPPKI (Pemufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Indonesia) Surabaya.
Secara umum, meskipun terdapat perbedaan orientasi politik, Sarekat Madura tetap eksis. Sarekat Madura pun semakin lama semakin nasionalis. Pada suatu rapat tanggal 23 Juni 1929 yang dihadiri 150 anggota, Sarekat Madura menyatakan diri sebagai “Suara Pembebasan Indonesia.”
(*) ditulis untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2012
Referensi:
Oetoesan Hindia, 17-18 Oktober 1921
Darmo Konda, 7-8 Mei 1928
Kuntowijoyo. Yogyakarta. Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940.2002

No comments :

Post a Comment